Asia Tenggara (ASEAN) menjadi rumah untuk 680 juta penduduk dan 70 juta usaha mikro, kecil, dan menengah (UKM). Hal ini merupakan potensi ekonomi tersembunyi di kawasan tersebut.
Rosan Roeslani, Wakil Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) menuturkan meskipun potensinya cukup besar, namun UKM masih menghadapi berbagai tantangan untuk bisa bertahan dan naik kelas. Salah satu tantangan yang dihadapi pelaku usaha kerakyatan di seluruh negara ASEAN, yakni kurangnya akses permodalan dan perbankan.
BACA JUGA: Wifkain Soroti Persoalan Permodalan UKM Tekstil
“Sekitar 39 juta dari 70 juta UKM juga menghadapi kekurangan pendanaan yang cukup besar dengan nilai US$ 300 miliar (setara Rp 4.595 triliun kurs Rp 15.317 per US$) setiap tahunnya,” kata Rosan dalam Subtema III Transformasi Digital yang Inklusif pada hari hari kedua ASEAN-Indo-Pacific Forum (AIPF) di Hotel Mulia, Jakarta, Rabu (6/9/2023).
Menurutnya, kondisi tersebut diperburuk dengan tingkat kesadaran masyarakat untuk melakukan transaksi dan menggunakan jasa layanan bank tercatat masih rendah dengan persentase penduduk hingga 70% belum menggunakan layanan perbankan.
BACA JUGA: Dorong Akselerasi Digital, Google-YouTube Berikan Rp 2 Miliar untuk UKM
Kemudian, di tengah kondisi ini muncul layanan keuangan digital membuka jalan untuk menjembatani kesenjangan keuangan khususnya bagi mereka yang belum mempunyai rekening bank, belum memakai jasa layanan perbankan, dan juga bagi UKM yang sebelumnya mungkin dinilai unbankable.
Layanan keuangan digital memainkan peran penting dalam mendorong inklusivitas keuangan, dan menjadi landasan bagi pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan inklusif di kawasan ASEAN. Ini tercermin dari pertumbuhan dan revolusi keuangan digital telah meningkatkan perekonomian negara dan inklusivitas ekonomi.
“Hal serupa juga terjadi di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir, di mana Indonesia telah berada di garis depan untuk revolusi keuangan digital, menunjukkan pertumbuhan dan ketahanan yang luar biasa,” tuturnya.
Rosan menambahkan antara tahun 2011 hingga 2022, pemain financial technology di Indonesia meningkat enam kali lipat dari semula 51 pemain menjadi 334 pemain aktif. Sementara itu, 33% penduduk memilih e-wallet sebagai metode pembayaran default mereka pada 2021.
Hal ini sekaligus menempatkan Indonesia sejajar dengan beberapa negara maju di Asia. Transisi Indonesia menuju ekonomi digital terlihat jelas dengan melonjaknya pembayaran nontunai dari US$ 813 juta menjadi US$ 26,2 miliar pada 2017 hingga 2022.
“Transisi menuju ekosistem transaksi digital yang berkembang pesat ditunjukkan dengan nilai transaksi pembayaran digital, yang tumbuh dari US$ 206 miliar pada 2019 menjadi US$ 266 miliar pada 2022. Perkembangan transaksi pembayaran digital ini akan terus tumbuh hingga mencapai lebih dari US$ 421 miliar pada 2025,” kata Rosan.
Editor: Ranto Rajagukguk