Free Ongkir hingga Omni-Channel, 9 Tren Digital Shopping di Indonesia
Indonesia yang merupakan negara kepulauan memang menjadi alasan mengapa industri perdagangan online berkembang pesat. Saudara kita yang berada di ujung barat atau timur Indonesia bisa membeli apa saja melalui e-commerce atau marketplace yang bermunculan. Cukup mencari, pesan, membayar, dan menunggu barang diantar. Hak seseorang untuk berbelanja bisa dikatakan telah sama bagi siapa pun.
Hal ini menjadikan dunia belanja online menjadi pilihan favorit. Dengan berkolaborasi bersama Alvara Research Center, Google Indonesia, iPrice, KATADATA, McKinsey & Company, Snapcart, The Asian Parent, dan Visa; Marketeers menyajikan sembilan tren digital shopping di Indonesia.
- Diskon atau free ongkir?
Alvara Research Center menyebutkan harga yang murah menjadi pertimbangan konsumen millennials ketika berbelanja online. Porsinya mencapai 79%. Sedangkan KATADATA melihat free ongkos kirim menjadi pertimbangan ketika seseorang memutuskan belanja online. Meski memiliki temuan yang berbeda, baik Alvara atau KATADATA kompak memosisikan diskon bukan sebagai pertimbangan pertama konsumen dalam pembelian online.
- Rating dan bintang
Alvara melihat millennials sangat memerhatikan rating ketika berbelanja online. Dari responden berusia 17-25 tahun dan 26-35 tahun, 90% menganggap rating sangat berpengaruh ketika mereka akan belanja di e-commerce.
- Bisnis senilai Rp 42 triliun dari cek inbox ya Sist…
Apakah Anda familiar dengan kalimat itu? Biasanya itu merupakan sepenggal percakapan antara pembeli dan penjual di dunia social commerce. Ini merupakan transaksi yang terjadi melalui media sosial, seperti Instagram, Facebook, WhatsApp, dan lainnya. Bahkan, McKinsey menghitung, nilai gross merchandise value (GMV) dari social commerce ini mencapai US$ 3 miliar pada tahun 2017, atau Rp 42 triliun (kurs Rp 14.000 per dolar AS).
- Semakin omni-channel
Omni-channel telah menjadi keharusan. Riset McKinsey menyebutkan sekitar 71% konsumen melakukan riset di dunia online sebelum berbelanja. Sisanya riset dilakukan secara offline. Namun, hanya 6% yang melakukan riset secara offline dan akhirnya bertransaksi offline. Sisanya atau 94% menggunakan dunia online, entah ketika riset atau akhirnya berbelanja.
- Bangkitnya ekonomi desa
Daerah rural atau desa sangat terbantu kehadiran e-dagang. Menurut riset McKinsey, pertumbuhan transaksi e-tailing dari penduduk di wilayah desa mengalami perkembangan pesat. Jika pada tahun 2015, mereka hanya berbelanja dengan nilai US$ 90 juta, pada tahun 2017 mencapai US$ 350 juta alias naik hampir empat kali lipat.
- Besarnya perhatian ibunda
Kasih ibu memang tak terkira sepanjang masa. Riset The Asian Parent menyebutkan, kebutuhan serta pakaian bayi dan anak menjadi pilihan utama sang ibu ketika berbelanja online. Artinya, ketika memiliki anak, karakter perempuan Indonesia mengalami perubahan.
- Lunturnya dominasi Jakarta
McKinsey melihat industri belanja online akan membuat daya belanja masyarakat Indonesia semakin merata. Jika pada tahun 2017, Jakarta mendominasi pembelian online dengan porsi 55%, angka itu akan turun hingga 30% pada tahun 2022. Selanjutnya, kota tier II, III, IV, dan dan seluruh Indonesia akan memberikan kontribusi yang sama di angka 20%an.
- Emansipasi perempuan
Bisnis online tidak hanya membuka akses bagi pembeli, namun juga penjual. Menurut catatan McKinsey, jumlah penjual online bergender perempuan mencapai 35%. Angka ini terbilang tinggi dibandingkan wirausahawan offline, yang mana perempuan hanya mengambil porsi 15%.
- Jangan terbiasa impor
Pembeli online di Indonesia rupanya tidak mudah puas. Menurut riset KATADATA, ada sekitar 30% konsumen Indonesia yang membeli barang impor. Maklum, internet memang memungkinkan kita belanja di e-commerce mana pun. Sedangkan dari sisi penjual, tercatat 27,41% melalukan impor. Nah, lo. Jangan dibiasakan ya.
Artikel selengkapnya bisa dibaca
pada Marketeeers edisi Oktober 2018 dengan tajuk
Research Report on Digital Shopping & Payment