Nama Gree sebagai merek penyejuk ruangan (air conditioner/AC) memang belum santer terdengar. Maklum, perusahaan asal Tiongkok ini baru serius membenamkan investasinya di pasar Indonesia selama setahun terakhir. Padahal, keberadaannya di market domestik telah berjalan sejak sepuluh tahun lalu.
Sebagai langkah awal, Gree fokus menjual AC untuk proyek-proyek komersial. Dengan semakin banyaknya pembangunan infrastruktur dan manufaktur di Indonesia, Gree melihat ceruk ini lebih potensial ketimbang pasar ritel.
“Karena di negara asalnya Tiongkok, Gree dikenal sebagai produsen AC untuk keperluan properti atau manufaktur. Portofolio produk kami di kategori ini adalah yang terbesar,” ujar Eko Ariwibowo, General Manager of After Sales Service Gree Indonesia kepada Marketeers di Jakarta, Selasa, (9/8/2016).
Eko menerangkan, 70% dari penjualan Gree di Indonesia ditopang dari proyek-proyek komersial, seperti properti, perkantoran, dan juga pabrik. Beberapa proyek yang tengah berjalan antara lain pabrik Semen Merah Putih, pabrik VIVO, perkantoran OPPO Landmark, dan satu pabrik pulp & paper.
“Sedangkan 30% penjualan kami berasal dari end user atau ritel. Sampai setahun ini, kami berhasil menjual lebih dari 10.000 unit AC ke pengguna langsung,” papar Eko.
Will Wen, Vice President PT Gree Electric Appliances Indonesia menjelaskan, alasan Gree fokus menggarap pasar komersial adalah karena profitnya lebih menjanjikan. “Pasar konsumer, tantangan cukup banyak. Persaingan yang ketat antarmerek membuat harga kian bersaing,” tuturnya di lokasi yang sama.
Meski begitu, bukan berarti Gree melepas pasar yang permintaannya tengah menanjak. Menurut laporan konsultan Gfk, permintaan room air conditioner (RAC) di Indonesia meningkat 10% dengan estimasi penjualan sebesar 1,92 juta unit pada tahun 2016.
“Sejalan dengan strategi kami menggarap pasar komersial, kami tetap memperkenalkan positioning merek kami di pasar ritel. Kami melakukan aktivitas ATL dan BTL, khususnya di mal yang ada di kota besar Indonesia,” ucap Will.
Diakuinya, melakukan branding di pasar yang sudah dipadati pemain elektronik besar memang tidaklah mudah. Pihaknya membutuhkan waktu untuk menciptakan awareness hingga merek tersebut diadvokasi oleh konsumen.
“Lagi-lagi, kendala utama adalah ada stigma di konsumen bahwa merek dari Tiongkok adalah low quality. Itu tidak semuanya benar,” timpal Eko.
Dia melanjutkan, secara positioning, Gree tidak bermain di pasar menengah bawah seperti yang dilakukan oleh pemain satu kampungnya Changhong. Sebagai gambaran, untuk AC Gree tipe standar dengan kapasitas 1 PK saja dibanderol seharga Rp 3,5 juta.
“Brand positioning kami seperti merek LG. Kami menggarap segmen menengah hingga atas dengan harga yang kompetitif alias tidak murah,” tegasnya.
Will kembali menerangkan bahwa dalam jangka pendek, pihaknya menancapkan target menjadi merek Tiongkok nomor satu di pasar Indonesia. Itu artinya, Gree ingin menghadang laju rival terdekatnya, yakni Daikin.
“Kami bertekad menjadi top 3 merek AC di Indonesia dalam tiga tahun mendatang. Caranya, kami akan fokus pada penjualan sektor proyek, workshop, pelayanan, dan pasar modern,” pungkas pria asal Tiongkok ini.
Ada rencana Gree membuka pabrik di Tanah Air dalam tiga tahun mendatang. Namun, rencana tersebut masih berupa wacana. Seluruh produk Gree di Indonesia diimpor dari pabrik Gree di Tiongkok.
Produk Gree yang sudah tersedia di pasar saat ini diakui telah memenuhi standar hemat energi yang ditetapkan Kementerian ESDM RI, yaitu memiliki energy efficiency ratio (EER) dengan skor 10,6 hingga 15,6. Selain itu, AC ini telah menggunakan refigran R-410 A yang diklaim tidak merusak lapisan ozon.
Editor: Eko Adiwaluyo