Para pelaku pasar finansial global saat ini tengah meninjau kembali asumsi nilai harga acuan (repricing) terhadap sejumlah aset investasi, yang berpotensi meningkatkan risiko ketidakpastian. Lalu, apa yang sebaiknya dilakukan investor?
Risiko repricing ini mulai terlihat dari pergerakan imbal hasil obligasi Indonesia. Berdasarkan data Indonesia Bond Pricing Agency (IBPA), Indonesia Composite Bond Index (ICBI) melemah 0,3% dalam sepekan terakhir. Hal ini disebabkan dari kenaikan imbal hasil (yield) surat utang Amerika Serikat (AS) bertenor 10 tahun yang terjadi sejak awal Februari lalu.
Mencermati dinamika kondisi ekonomi global yang mempengaruhi perekonomian Indonesia, PT Bahana TCW Investment Management merekomendasikan bagi para investor untuk memilih strategi investasi yang terstruktur.
Hal ini bertujuan agar investor tetap memperoleh kestabilan imbal hasil atau return dalam berinvestasi, terhindar dari risiko repricing yang terjadi di pasar saham dan obligasi (fixed income), serta memberikan perlindungan modal (capital protective).
Edward Lubis, President Direktur PT Bahana TCW Investment Management menyarankan investor selalu berpegang teguh pada “acuan untuk cuan”. “Untuk mengurangi risiko repricing, investor bisa mengalihkan portofolio ke investasi atau reksa dana yang memberi yield tetap. Jika kondisi pasar sudah lebih stabil memperoleh kepastian dari rencana kenaikan suku bunga Amerika Serikat (AS) dari The Fed, maka investor bisa mengalihkan lagi portofolio ke pasar modal,” jelas Edward.
Budi Hikmat, Direktur Strategi Investasi dan Kepala Makroekonomi PT Bahana TCW Investment Management mengatakan kondisi ekonomi AS sebenarnya telah menunjukkan perbaikan sebelum kehadiran Donald Trump sebagai Presiden AS.Namun, Trump kemudian membuat kebijakan pemotongan pajak (tax cut) yang regresif, sehingga berpotensi memperburuk ketimpangan ekonomi di negeri Paman Sam.
Dengan pemotongan pajak, sumber penghasilan negara akan berkurang. Sementara negara juga memiliki rencana untuk pembangunan infrastruktur yang memakan biaya yang cukup besar. Karenanya, Pemerintah AS diduga akan meminjam utang dalam jumlah besar.
“Pemulihan ekonomi di AS akan memicu risiko inflasi AS yang lebih tinggi dari 1,8% menjadi 2,1% pada akhir tahun. Hal ini akan mendorong kenaikan yield US Treasury yang menjadi acuan dari bond negara lainnya,” jelas Budi.
Bursa Indonesia masih kuat
Bahana melihat bahwa aksi repricing telah membuat kenaikan imbal hasil surat utang negara (SUN) Indonesia, namun kondisi ini sebenarnya bisa dimanfaatkan investor untuk mulai mengatur ulang portofolio mereka. “Saat ini merupakan kesempatan bagi investor lokal untuk melirik yield yang naik ini dan melakukan rebalancing asset,” ungkap Budi.
Adapun potensi dari risiko repricing juga diproyeksi akan terjadi pada pasar modal Indonesia. Akan tetapi, Bahana TCW Investment Management berpandangan optimis bahwa kondisi pasar modal Indonesia akan tetap positif dalam menghadapi dinamika perubahan pasar global.
“Motor penggerak pasar modal Indonesia lebih banyak. Dari sisi internal, Indonesia memiliki bonus demografi penduduk berusia muda dan urbanisasi. Sementara dari sisi eksternal, harga komoditas dari sektor energi, termasuk batubara dan pertambangan mineral lainnya mengalami pemulihan,” ungkap Budi.
Tak hanya itu, berbagai sentimen internal yang mewarnai pada tahun ini akan menjadi nilai positif bagi pasar modal Indonesia. Misalnya, kondisi tahun politik yang diwarnai dengan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak di banyak wilayah di Indonesia akan mendorong belanja konsumsi masyarakat.
Hal ini menjadi stimulus positif bagi beberapa sektor seperti sektor konsumsi dan media. Kemunculan bisnis digital seperti e-commerce juga akan meningkatkan ekonomi usaha kecil dan menengah (UKM), sektor bank, dan telekomunikasi. Pembangunan infrastruktur pemerintah juga akan menambah nilai bagi sektor properti.
Kondisi tersebut membuat Bahana yakin pasar modal Indonesia akan lebih kuat dalam menghadapi dinamika ekonomi global. Adapun, potensial kenaikan pada kondisi obligasi Indonesia tak akan cukup besar, namun kenaikan yield obligasi bisa menjadi kesempatan bagi investor lokal sebagai penyeimbang aset.
Soni Wibowo, Direktur Riset dan Kepala Investasi Alternatif PT Bahana TCW Investment Management menuturkan Bahana memiliki produk reksa dana yang lengkap dan terstruktur dalam mengurangi risiko repricing ini, baik reksa dana di pendapatan tetap maupun reksa dana saham.“Untuk saham, kami tetap mengacu pada saham-saham yang defensif terhadap volatilitas market dengan mengacu acuan indeks LQ45 dan IDX 30,” ungkap Soni.