Ada Hubungan Kuat Antara Rasa Lapar Dengan Hasrat Berbelanja

marketeers article

Ramadan menjadi momen kultural-religius yang menarik dan unik di Indonesia. Dampak dari bulan ini mempengaruhi semua aspek masyarakat dan tidak terkecuali kebiasaan berbelanja mereka.

Menariknya, satu studi empiris telah mengkonfirmasi hal ini. Dalam riset yang dimuat di jurnal ilmiah Proceedings of the National Academi of Science di Amerika Serikat, ditemukan adanya hubungan antara rasa lapar dengan keinginan berbelanja.

Forbes pun pernah menggunakan istilah “lapar belanja” (shopping hungry). Sedangkan laman Universitas Minnesotta tempat para peneliti ini bernaung menggunakan judul yang jenaka, “Perut kosong dapat berujung pada dompet kosong”.

Pada dasarnya, studi tersebut mengatakan rasa lapar bukan hanya mempengaruhi hasrat manusia untuk memperoleh makanan. Tetapi hal itu bisa melebar menjadi hasrat untuk memperoleh produk lainnya, bahkan di luar kategori makanan.

Hal ini bisa menjadi penjelasan tentang fenomena mengapa di bulan puasa, justru pengeluaran sebagian orang menjadi membengkak, sekalipun frekuensi makan berkurang.

Dari dunia bisnis, situs perbandingan harga e-commerce Priceza Indonesia pernah melakukan riset internal yang spesifik dalam rangka mempelajari perilaku belanja online di bulan Ramadan. Studi ini mengambil data bulan Ramadhan 2017 (29 Mei hingga 19 Juni 2017). Ketika itu, Priceza mengusung kampanye bertajuk “Ramadhan #BERSAMAPriceza”.

Ada delapan platform e-commerce yang terlibat sebagai sampel yaitu Elevenia, Lazada, Zalora, Bhinneka, MatahariMall, Berrybenka, Hijabenka, dan Blibli. Seluruh platform tersebut merilis voucher promosi khusus sehingga efektivitasnya bisa diukur. Ada tiga hal menarik yang dapat menggambarkan preferensi masyarakat Indonesia dalam berbelanja online di bulan Ramadan.

Pertama, para pembelanja lebih tertarik dengan platform yang menjual barang lintas-kategori, alih-alih hanya menjual kategori spesifik. Misalnya, Elevenia, Lazada, dan MatahariMall yang secara virtual menjual nyaris semua barang dan mereka mendapat kunjungan yang relatif lebih banyak ketimbang platform lain.

Di sisi lain, Hijabenka dan Berrybenka yang fokus pada produk fesyen atau Bhinneka pada produk elektronik, mendapat antusiasme yang tidak sebesar platform lintas-kategori sebelumnya. Kesimpulannya, masyarakat Indonesia senang berbelanja berbagai macam barang dalam satu tempat sekaligus.

Kedua, pemilihan kata dan angka (wording) berpengaruh besar terhadap program kampanye. Pada dasarnya, pasar lebih menyukai promosi yang melibatkan angka-angka bombastis dan menarik perhatian.

Seperti misalnya program diskon sebesar Rp 10 ribu seperti yang diusung Elevenia tidak mendapat respon sebaik angka atraktif “30%” dari MatahariMall atau Lazada dengan “70%” yang mendominasi penggunaan voucher selama masa kampanye. Sederhana saja, pembelanja kita terbiasa “menghakimi” suatu program dari sampulnya.

Ketiga, Priceza juga menguak bahwa tidak ada hubungan erat antara kebijakan “transaksi minimum” dengan respon pembelanja daring. Kebijakan ini tidak menyurutkan minat belanja di bulan Ramadan, yang tentunya merupakan kabar baik bagi para pelaku industri.

Dengan kata lain, nampaknya masyarakat tidak ragu untuk berbelanja online dengan bujet mereka yang cukup berlimpah di bulan Ramadaan.

Lantas, apa yang menyebabkan berbagai temuan menarik ini? Tentu ada banyak faktor yang turut berpengaruh. Termasuk fenomena psikis “lapar belanja” yang sempat disinggung sebelumnya. Di mana pada bulan Ramadaan, sebagian besar dari pembelanja secara psikologis bukan hanya ingin memperoleh makanan saja, tetapi juga berhasrat untuk berbelanja produk lain di luar makanan.

Menurut Bayu Irawan, Co-Founder & Country Head Priceza Indonesia, dari sisi finansial, ada peningkatan daya beli masyarakat selama bulan Ramadan. “Pemberian THR, pengalokasian bujet pengeluaran lebih besar dari bulan-bulan sebelumnya, dan banyak hal lainnya yang pada akhirnya mendorong masyarakat kita untuk berbelanja,” tandasnya.

Hal ini nampak dari penampilan yang serba-baru, untuk merepresentasikan terlahirnya manusia baru usai melewati tantangan di bulan suci, lewat pembelian baju koko dan berbagai busana atau produk Muslim lainnya.

Termasuk peebelian produk mahal seperti gadget dan mobil. Seperti diketahui, penjualan produk otomotif selalu mencapai puncaknya di sekitar 1-2 bulan sebelum Ramadan.

 

Related