Dari Banyak Iklan, Kenapa Billboard Go-Jek di Kuningan Viral?

marketeers article

Go-Jek kembali membuat heboh jagat netizen. Kali ini bukan soal regulasi, tarif, atau keluhan dari konsumen terkait dengan layanan Go-Jek. Melalui sebuah papan billboard di kawasan padat nan macet Kuningan, Jakarta Selatan, Go-Jek berhasil menjadi buah bibir di kalangan marketeer, pelaku advertising, agency, dan masyarakat umum. Pasalnya Go-Jek melakukan pakem yang tidak umum dan tidak wajar.

Alih-alih menampilkan billboard yang berwarna dan penuh dengan materi promosi, Go-Jek justru memberikan sebuah kalimat panjang yang membuat orang yang lewat secara tidak sadar akan membacanya sampai habis.

Piotr Jakubowski selaku Chief Marketing Officer Go-Jek menyempatkan diri untuk berbincang dengan Marketeers untuk menjelaskan latar belakang dari konsep billboar tersebut, mulai dari ide awal, pemilihan lokasi, dan tanggapan dari netizen. Simak percakapannya di bawah ini.

Bagaimana awalnya konsep dari billboard Go-Jek yang heboh itu?

Sebenarnya konsep billboard ini bukan hal yang baru.  Tetapi, menjadi heboh karena itu sangat relevan.

Sejak kapan Go-Jek mulai main di billboard?

Kami sudah mulai testing billboard sejak beberapa bulan lalu. Pesan yang mau kami sampaikan juga kami ganti-ganti. Tapi, intinya bagaimana kami bisa leverage channel masing-masing untuk fokus di human touch. Konsep kami ini amat bermanusia dan simple.

Ide lokasi dan konten berawal dari mana?

Kita pilih lokasi dan kontennya disesuaikan dengan lokasinya. Cari tempat yang padet dan macet. Konten kami terinspirasi dengan campaign dari brand di luar juga. Ada campaign Spotify dan campaign dari perusahaan asuransi Allstate di Chicago.

CMO Go-Jek, Piotr Jakubowski

Berapa lama durasi yang ditentukan dari setiap billboard yang dipakai oleh Go-Jek?

Durasi kami tentukan. Tentunya ada kontraknya. Tapi, kami pikirkan dulu konsepnya. Kami juga kaget billboard ini bisa viral seperti ini. Permasalahannya adalah bagaimana kami bisa elevate ini lebih lagi. Ceritanya bisa diganti disesusaikan dengan lokasi. Kami baru dapat informasi dari pelanggan Go-Jek yang bilang di daerah Fatmawati ada billboard kosong dan minta dipasang billboard seperti yang di Kuningan.

Waktu pertama lihat draft billboard ini apa yang Anda pikirkan?

Saya approve sekadar untuk ngetes saja. Di digital, ngetes itu gampang, tapi di offline itu susah. Memang ada risikonya, tetapi kembali ke human first. Kita semua baca ini pasti merasa ‘duh, ini kaya kehidupan sehari-hari gw’.

Hal yang sama ketika saya pertama kali baca draft-nya. Langsung setuju dan saya approve. Yang paling penting bagi sebuah brand adalah otentisitas. Kami sebagai brand mau menjadi otentik dan inovatif tidak hanya dalam hal teknologi, tetapi juga di operasional, marketing, dan sebagainya.

 

Apa masukan yang Anda terima dari ramainya billboard ini?

Ada yang bilang ini kreatif dan ada yang bilang malah bikin tambah parah macet. Di Jakarta dengan kemacetan kita gak bisa lari dari situ. Satu hal kenapa billboard ini jadi hits karena we’re kind celebrated that condition. Ya punchline-nya kita kasih solusi. Balik lagi ke brand value, dalam kasus ini pure entertainment.

Komentar paling ramai di media sosial seperti apa?

Banyak yang ngefans sama copywriter-nya, hahaha. Ada yang bilang sampai keluar mobil dan nyari Go-Jek. Di komentar media sosial ada yang bilang seperti itu, tapi faktanya saya tidak tahu.

Seperti apa konsep out of home Go-Jek ke depannya?

Konsep out of home Go-Jek baru masuk beberapa bulan lalu. Kontennya mulai dari pesan promo dan produk. Tapi, konten seperti itu cepat hilang. Dilihat juga siapa yang peduli. Kami fokus untuk ngetes konsep-konsep baru. Yang kami pasang itu testing. Di luar Jakarta juga banyak yang minta. Tapi, bukan berarti kami pakai konsep yang sama secara terus-menerus.

Tiap bulan kami rotasi tempat dan pesannya juga. Bulan lalu, kami merilis campaign “Hidup Tanpa Batas.” Kami juga punya billboard Go-Pulsa dengan konsep “Mama Minta Pulsa”, dan ada billboard Go-Tix. Sudah dua minggu di pasang billboard-nya tapi tidak ada yang memberi komentar.

Editor: Sigit Kurniawan

 

Related