Alasan GIPI Minta DPR untuk Tunda Pengesehan RUU Kepariwisataan

profile photo reporter Ratu Monita
RatuMonita
05 September 2024
marketeers article

Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (GIPI) mendesak Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan pemerintah untuk tidak terburu-buru dalam mengesahkan Rancangan Undang Undang (RUU) Kepariwisataan yang dinilai memiliki sejumlah kontroversi di dalamnya. Hariyadi B Sukamdani selaku Ketua Umum GIPI menilai RUU Kepariwisataan yang tengah menjadi pembahasan DPR kurang sesuai dengan aspirasi para pelaku usaha di industri pariwisata.

Sebagai informasi, RUU Kepariwisataan yang tengah dibahas oleh DPR terdiri atas dua versi, yakni versi 2 Juli 2024 dan 5 April 2024. Menurut Hariyadi, isi dari kedua draf tersebut menjadi kontroversi karena dapat menimbulkan sejumlah masalah.

BACA JUGA BCA tiket.com Travel Fair 2024 Kembali Hadir, Bantu Dorong Industri Pariwisata

“Pemerintah melalui Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif belum pernah melakukan pembahasan RUU Kepariwisataan bersama-sama dengan pelaku pariwisata. Adapun pembahasan RUU Kepariwisataan yang pernah dilakukan oleh Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif melalui zoom pada tanggal 20 Agustus 2024 menuai protes dari Asosiasi Pariwisata, karena pembahasan yang dilakukan sangat singkat dan hanya membahas poin tertentu saja,” ujar Hariyadi dalam konferensi persnya di Jakarta pada Rabu (4/8/2024).

Hariyadi menjelaskan terdapat beberapa aspek substansial yang perlu dikritisi dari rancangan Undang Undang tersebut. Pertama, perihal pendanaan pariwisata. 

“Menyangkut pendanaan, seperti yang sama-sama kita ketahui, bahwa kita tidak punya cukup anggaran untuk melakukan promosi dan pengembangan pariwisata,” katanya.

Kedua, perihal kelembagaan yang tercantum di dalam rancangan Undang-Undang. 

“Kemudian, munculnya lembaga baru di dalam rancangan Undang Undang, yakni Lembaga Kepariwisataan Nasional yang sepertinya tumpang tindih dengan fungsinya Kementerian Pariwisata,” ucapnya.

BACA JUGA Jazz Gunung Bromo 2024, Contoh Sukses Sinergi Musik dan Pariwisata

Hariyadi menambahkan adanya nama lembaga baru tersebut tentu saja menimbulkan pertanyaan di kalangan pelaku industri pariwisata. Pasalnya, pemerintah dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan juga sempat mengamanatkan pembentukan dua lembaga, yaitu Badan Promosi Pariwisata dan Gipi.

Akan tetapi, hingga saat ini Badan Promosi Pariwisata tak kunjung terbentuk meski merupakan bagian dari amanat UU Kepariwisataan. Ketiga, menyangkut peran para pelaku usaha pariwisata yang dihilangkan. 

“Padahal yang namanya pariwisata itu sangat erat hubungannya dengan masyarakat dan pelaku usaha pariwisata. Kita sudah enggak punya badan promosi, kalau ditambah dengan pelaku usahanya juga dihilangkan perannya, dikhawatirkan nantinya akan ada distorsi yang lebih dalam,” tutur Hariyadi.

Dengan beberapa aspek substansial tersebut, Hariyadi menambahkan para pelaku usaha meminta kepada pemerintah maupun DPR untuk menunda pengesahan undang-undang kepariwisataan tersebut. Dia menyarankan pembahasan RUU dilanjutkan oleh DPR dan kabinet pemerintahan yang baru.

“Apalagi, melihat pariwisata ini memiliki fungsi bantalan sosial yang sangat strategis. Karena dia itu kalau dia (pariwisata) maju, masyarakat langsung akan menerima dampak positifnya. Masyarakat akan mendapatkan pendapatan yang langsung dia dapat dari situ,” tutur Hariyadi.

Editor: Ranto Rajagukguk

Related

award
SPSAwArDS