Selama 15 tahun berturut-turut, perusahaan kosmetik L’Oréal Indonesia memberikan dukungan bagi para ilmuwan perempuan dalam L’Oréal-UNESCO For Women In Science. Sebagai program global yang dilakukan sejak 19 tahun lalu, L’Oréal menyadari bahwa sains dan para ilmuwan memegang peranan penting dalam memberikan solusi bagi tantangan di masa depan.
Perusahaan asal Prancis yang dikenal dengan merek-merek seperti Garnier dan Maybelline ini memberikan penganugerahan kepada empat orang ilmuwan perempuan nasional. Keempat perempuan itu, antara lain Dosen Departemen Fisika Fakultas MIPA Institut Pertanian Bogor DR. Yessie Widya Sari; Peneliti Pusat Penelitian Kimia LIPI Athanasia Amanda Septevani Ph.D; Peneliti Lab Hepatitis Lembaga Eijkman Korri Elvanita El Khobar Ph.D; serta Kepala Lembaga Penjamin Mutu Internal Universitas Surya Sylvia Ayu Pradanawati Ph.D.
L’Oréal-UNESCO For Women In Science sudah berjalan di Indonesia sejak 15 tahun lalu. Setiap tahunnya, L’Oreal memilik ilmuan dengan riset terbaik yang selanjutnya akan diberikan dana untuk melanjutkan risetnya tersebut. Tahun ini, setiap ilmuwan memperoleh dana pengembangan riset Rp 90 juta.
L’Oréal-UNESCO For Women In Science didasari atas adanya ketidaksetaraan gendera di dalam dunia sains di seluruh dunia. Di Indonesia, menurut data UNESCO, walau jumlah mahasiswa perempuan lulusan bidang sains cukup tinggi yakni sebanyak 52%, namun angka mahasiswa perempuan tingkat doktor hanya sebesar 35%.
Perusahaan ini berasumsi bahwa kaum perempuan yang melanjutkan karir dan studi di bidang sains masih sedikit. Selain itu, jumlah ilmuwan perempuan hanya 31% dari total jumlah seluruh ilmuwan di Indonesia. Angka ini jauh lebih rendah dibandingkan kondisi di negara ASEAN lain di mana Filipina dan Thailand memiliki jumlah ilmuwan perempuan mencapai lebih dari 50%.
Umesh Phadke, Presiden Direktur L’Oréal Indonesia mengatakan, sejak tahun 2004, pihaknya berkomitmen untuk mendukung peran ilmuwan perempuan bagi kehidupan manusia, melalui penemuan mereka.
“Kami percaya bahwa perempuan yang berkecimpung di bidang sains, bisa mengubah dunia. Sebab dunia membutuhkan sains dan sains membutuhkan perempuan,” kata dia.
Melalui ajang ini, sambung dia, Indonesia setidaknya dapat melihat panutan-panutan baru yang memiliki kontribusi besar di dunia sains. Mereka memberikan solusi terhadap masa depan tidak hanya di Indonesia, tetapi juga dunia. “Dan mereka adalah para perempuan,” ujarnya.
Beberapa hasil penelitian alumni FWIS pun sudah dinikmati oleh masyarakat. Misalnya saja, kemasan plastik yang ramah lingkungan karya Doktor Noryawati Mulyono, atau beras sorgum untuk konsumsi para penderita diabetes, hasil penelitian Doktor Desta Wirnas.
“Selain itu, tak sedikit alumni FWIS yang kini memiliki posisi kepemimpinan bergengsi di dunia sains, seperti Doktor Ines Atmosukarto yang menjadi Presiden Direktur Lipotek, sebuah perusahaan bioteknologi di Australia,” jelas Umesh.
Melalui FWIS, L’Oréal Indonesia menggandeng Komisi Nasional Indonesia untuk UNESCO berupaya mengikis stigma yang berkembang di masyarakat mengenai kaitan antara sains dan ilmuwan perempuan.
Mengutip catatan UNESCO Institute for Statistics, angka ilmuwan perempuan tergolong rendah, yakni kurang dari sepertiga dari jumlah total ilmuwan global. Artinya, masih ada persepsi yang mengindikasikan bahwa sains bukanlah dunia yang ramah untuk kaum perempuan.
Prof. Arief Rachman, Ketua Harian KNIU Kemdikbud menuturkan, dengan lebih banyaknya perempuan berperan di dunia sains, bukan saja menjawab masalah ketimpangan gender, tetapi bisa memastikan riset-riset yang diproduksi itu benar-benar terbaik.
“Bahkan, riset itu sudah mempertimbangkan berbagai hal yang mungkin dulu dikesampingkan, seperti jenis kelamin, sehingga penelitian yang dilakukan bisa bersifat inklusif dan juga bermanfaat untuk semua orang,” tegas dia.
Selain FWIS, L’Oréal juga memiliki program L’Oréal Sorority in Science yang menargetkan mahasiswa perempuan; serta L’Oréal Girls in Science bagi siswi tingkat SMA. Semua program memiliki benang merah yang sama, yakni memilih kaum perempuan yang tertarik, tengah belajar, atau mendedikasikan karir mereka di bidang sains.
Program ini juga telah mencetak 53 orang ilmuwan perempuan, dan lima di antaranya telah diakui secara internasional.
Editor: Sigit Kurniawan