Bicara mengenai pendidikan di Indonesia tentu memiliki segudang pekerjaan rumah yang mesti dibenahi. Kompetensi guru, infrastruktur sekolah, kurangnya buku ajar, hingga standarisasi kurikulum adalah beberapa isu yang selalu menyelimuti sektor pendidikan di tanah air.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) RI pun tengah berupaya untuk meningkatkan kualitas pendidikan nasional. Dimulai dari peningkatan akses pendidikan dan juga peningkatan kualitas soal Ujian Nasional (UN).
Founder Zenius Education Sabda PS mengatakan, masalah sistem pendidikan di Indonesia saat ini bukan hanya perihal akses, tetapi juga mengenai kualitas dari pendidikan itu sendiri. Berdasarkan data Kemendikbud RI, tingkat aksesibilitas sekolah di Indonesia telah mencapai 80%.
“Namun, yang menjadi masalah adalah kualitasnya, dan memberikan pendidikan yang berkualitas secara merata itu sangat sulit,” ujar Sabda.
Karena itu, perusahaan education technology Zenius Education berkomitmen untuk berkontribusi dalam membangun generasi bangsa yang mampu memiliki nalar yang baik yang dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
“Tanpa logika dasar yang kuat, generasi muda kita akan mudah terpengaruh hoax, bahkan terorisme. Hal ini yang mungkin kurang disadari oleh banyak orang,” tegas Sabda.
Didirikan pada tahun 2007, Zenius Education sebagai salah satu pemain digital pertama di ekosistem pendidikan Indonesia selalu berusaha menyediakan materi belajar yang berfokus pada pemahaman konsep dan penalaran ilmiah.
Mengacu pada kondisi pelajar Indonesia yang selama bertahun-tahun terbiasa dengan menghafal materi serta cenderung tidak didorong untuk bertanya, Zenius Education bertekad mengubah pola pikir pelajar Indonesia untuk mengerti suatu konsep ilmu ketimbang menghafal, dan sesuai dengan jiwa ilmiah itu sendiri, yaitu membangun rasa keingintahuan.
Menurut Sabda, ukuran capaian tingkat pendidikan formal di Indonesia bisa mengacu pada tes tiga tahunan Programme for International Student Assessment (PISA), suatu sistem ujian yang diinisiasi oleh Organisation for Economic Co-Operation and Development (OECD).
Sejak mengikuti tes tersebut pada tahun 2010, Indonesia selalu berada di peringkat sepuluh terbawah dari 72 negara yang disurvei. Maka, bukan hal yang mengejutkan apabila hasil UN 2018 menunjukkan bahwa 63-79% siswa memiliki rerata nilai <55.
“Performa pelajar Indonesia pada tes PISA bukan satu-satunya yang mengkhawatirkan. OECD juga melakukan tes kepada populasi dewasa melalui tes PIAAC (Programme for the International Assessment of Adult Competencies), dan ternyata hasilnya mencengangkan—sarjana di Jakarta memiliki kemampuan literasi yang tidak lebih baik dari lulusan SMA seluruh negara partisipan,” terang Sabda.
Belum selesai sampai di situ, dunia termasuk Indonesia akan menyambut datangnya “era Industri 4.0”, saat mesin akan mengganti beberapa fungsi pekerjaan manusia. Secara estimasi, sekitar 400-800 juta individu akan tergantikan pekerjaannya oleh automatisasi pada tahun 2030 (McKinsey, 2017).
Karenanya, tantangan pendidikan Indonesia saat ini dan masa depan adalah bagaimana mencetak generasi muda yang memahami ilmu yang diajarkan, bukan sekadar pandai mengingat informasi.