Industri tekstil Indonesia sedang bersaing dengan produk-produk tekstil yang didatangkan oleh negara-negara lain. Salah satunya adalah Tiongkok. Bahkan, produk tekstil Indonesia bersaing keras dengan produk tekstil Tiongkok.
Banyak yang berangapan bahwa tekstil Tiongkok jauh lebih murah daripada tekstil buatan Indonesia. “Banyak yang bilang tekstil Tiongkok itu murah dan terjangkau, sementara tekstil Indonesia mahal. Tapi, mereka tidak memahami bahwa tekstil yang diekspor oleh Tiongkok itu masuk kategori Grade B, barang over stock mereka jual rugi, lalu masuk ke Indonesia dengan ilegal tidak membayar bea masuk dan pajak,” jelas Iwan K Lukminto, Wakil Presiden Direktur Sritex.
Padahal menurut Wawan, sapaan akrabnya, tekstil Indonesia bila dibandingkan secara apple to apple dengan Tiongkok, produk Indonesia lebih kompetitif. Ia mengapresiasi langkah pemerintah untuk membekukan produk tekstil Tiongkok illegal.
Sebagai industri padat karya, industri tekstil membutuhkan proteksi dari pemerintah karena menyangkut daya saing tekstil nasional, produktivitas, dan lapangan kerja. Menurutnya, bila mendapatkan dukungan dari pemerintah dalam waktu dekat industri tekstil Indonesia bisa menunjukan tajinya.
Pada era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, pelaku industri tekstil mendapatkan insentif berupa cashback sebanyak 10% bagi perusahaan tekstil yang melakukan investasi mesin.
“Itu program yang mendukung pabrik tekstil untuk melakukan regenerasi mesin. Saat ini, banyak mesin di industri tekstil sudah tua. Itu salah satu alasan tekstil Indonesia tidak kompetitif. Alasannya, mesin yang tua membutuhkan energi yang lebih. Jadi, konsumsi energinya lebih banyak,” pungkas Wawan.
Editor: Sigit Kurniawan