Pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UKM) saat ini telah memiliki tingkat inklusi keuangan yang baik. Hal tersebut tercatat pada riset terbaru PT Amartha Mikro Fintek (Amartha) melalui Amartha Prosperity Index bersama Katadata Insight Center yang bertajuk The Indonesia Grassroot Entrepreneur Report. Hasil menunjukkan, meski pelaku UKM telah memiliki tingkat inklusi keuangan yang baik dengan skor 84,33, namun ternyata tidak banyak UKM yang memanfaatkan kanal digital untuk mengembangkan usahanya. Tercermin dengan perolehan skor yang rendah pada dimensi adopsi produk digital, yakni sebesar 22,5.
Menurut Vivi Zabkie selaku Research Manager Katadata Insight Center, alasan utama rendahnya skor pemanfaatan kanal digital untuk mengembangkan usaha adalah karena minimnya keterampilan yang memadai. “Seringkali, para pelaku UKM mengerti cara menggunakan media sosial dan berbelanja online tetapi banyak yang belum tahu cara mempromosikan usahanya lewat kanal digital. Mereka seutuhnya mengandalkan interaksi fisik atau offline,” katanya.
Riset The Indonesia Grassroot Entrepreneur Report ini dilakukan pada November 2021 dan melibatkan 402 orang pelaku UKM yang tersebar di beberapa wilayah Indonesia. Riset ini juga mengutamakan responden yang berdomisili di wilayah sub-urban, sesuai dengan karakteristik mitra Amartha. Menariknya, riset terbagi menjadi tiga dimensi utama yang mengukur kesejahteraan. Tiga dimensi tersebut, meliputi tingkat inklusi keuangan, penggunaan produk finansial tingkat lanjutan, dan adopsi digital bagi UKM.
Chief Risk & Sustainability Officer Amartha Aria Widyanto mengungkap, tujuan utama dari riset ini adalah untuk mengetahui fakta dan faktor-faktor yang dapat mendorong UKM untuk lebih maju dari kacamata inklusi keuangan dan adopsi teknologi. “Kami menemukan bahwa pelaku UKM di Indonesia sudah cukup melek dengan inklusi keuangan, tetapi belum mahir memanfaatkan teknologi untuk mengembangkan usahanya. Jadi, penggunaan teknologi masih sebatas keperluan komunikasi atau hiburan saja,” ujarnya.
Menurut pengukuran dimensi Amartha Prosperity Index, sebanyak 97% pelaku UKM sudah memiliki perangkat akses internet dan penggunaan media sosial. Tetapi, penggunaan e-commerce untuk memperluas jangkauan pasar masih sangat rendah, yakni dengan perolehan skor 20,50.
Temuan lain, dalam pemanfaatan produk keuangan untuk tingkat lanjutan hasilnya diperoleh skor sebesar 29,98. Itu artinya, para pelaku UKM sudah terinklusi oleh produk keuangan tapi penggunaannya hanya sebatas transaksi umum saja, belum dioptimalkan untuk mengembangkan usaha. Bahkan hanya 34% yang melakukan pinjaman dari institusi formal seperti bank.
Angka pengguna fintech juga masih sangat rendah, yakni 2,7% pelaku UKM yang mendapat modal berkat pinjaman fintech. Alasan utamanya, pelaku UKM khawatir tidak sanggup membayar pinjaman sehingga lebih memilih menabung secara pribadi.
“Temuan tersebut tentu menjadi peluang besar bagi kami. Pasalnya, pangsa pasar UKM yang belum terlayani akses permodalan masih sangat banyak. Stigma akan berhutang merupakan hal buruk, sebenarnya bisa diluruskan. Pinjaman produktif seperti yang kami tawarkan dapat mendorong UKM lebih maju karena tidak terbatas modal saja, tapi kami juga lengkapi dengan pendampingan usaha,” jelas Aria.
Ia menambahkan, pendampingan atau edukasi lebih lanjut diperlukan agar kemahiran teknologi dapat diimbangi dengan kecakapan pengguna. Hal tersebut juga selaras dengan arahan pemerintah mendorong UKM Go Digital. “Untuk mewujudkan UKM Go Digital, kami butuh kolaborasi dari berbagai pihak. Oleh sebab itiu, riset ini kami publikasikan agar semakin banyak pemangku kepentingan yang tergerak untuk turut andil menyejahterakan UKM di Indonesia. Kami optimistis dengan penyedia akses modal yang inklusif serta edukasi digital yang masif akan memberi dampak bagi UKM semakin maju,” tutup Aria.
Editor: Muhammad Perkasa Al Hafiz