Ambisi Angkasa Pura II To Become Smart and Connected Airport

marketeers article
Ilustrasi. (FOTO: Dok AP II)

“Saya 25 tahun di Telkom. Saya orang IT, bukan orang bandara,” kata Muhammad Awaluddin. Pengalamannya selama 25 tahun di perusahaan telekomunikasi tidak sedikit pun membuatnya ragu ketika ditunjuk dua tahun lalu menjadi nakhoda dari perusahaan operator bandara terbesar di Indonesia, PT Angkasa Pura II (Persero) atau AP II.

Baginya, sektor telekomunikasi dan transportasi memiliki benang merah yang sama, yakni mengelola lalu lintas. Bila Awaluddin mengelola lalu lintas data, suara dan pesan di perusahaan telekomunikasi; kini ia mengelola lalu lintas penumpang dan barang pada AP II. Namun, ia mengakui bahwa ilmu turunan dari industri ini yang harus segera ia serap.

“Ini sesuatu yang harus saya pelajari dengan cepat. Saya suka menjadi fast learner. Saya bisa cepat memahami dengan rajin berdiskusi, turun langsung ke bawah, dan melakukan analisis,” ujar pria yang meraih gelar Best Industry Champion 2018 dari sektor infrastruktur itu.

Ketika pertama kali melangkahkan kaki di AP II, Awaluddin bertekad apa yang ia pikirkan pertama kali harus menjadi hal terakhir yang ia tinggalkan. Kala itu, Awaluddin berpikir AP II harus menjadi smart connected airport. Sebuah gagasan yang tidak mudah dan amat menantang.

Mengelola bandara bukanlah perkara mengurus satu organisasi saja. Setiap harinya, satu bandara dikunjungi puluhan ribu orang, bahkan lebih. Di dalamnya terdapat penumpang hingga seluruh komponen stakeholder ekosistem bandara. Mulai dari maskapai, Airnav, imigrasi, dan bea cukai.

“Tantangan pertama adalah menjaga safety level, security level, dan service level. Ini harus selalu dijanjikan dan dikawal dengan baik. Tiga hal ini adalah standar utama yang tidak bisa ditawar, karena standarisasinya mengacu pada regulasi nasional dan global,” ungkapnya.

Tantangan kedua adalah bagaimana AP II dapat mengintegrasikan seluruh unsur stakeholder dengan baik. Awaluddin mendorong para stakeholder untuk melakukan infrastructure sharing dan resources collaboration. Terakhir, operasi di bandara tidak boleh berjalan sendiri-sendiri. Karenanya, AP II sedang membangun moda Airport Collaborative Decision Making. “Di bandara Soekarno-Hatta, kami sudah membangun Airport Operation Control Center. Dengan sistem ini, kami mengerjakan operasi bandara secara bersama-sama,” katanya.

Saat ini, AP II sudah mengelola 15 bandara. Pada tahun 2019 mendatang, AP II berencana menambah sekitar empat bandara lagi. Uniknya, selama ini AP II terkenal sebagai operator bandara di kawasan barat Indonesia. Namun, saat ini AP II sudah mengelola beberapa bandara di kawasan timur Indonesia.

Baginya, pembangunan infrastruktur oleh pemerintah dalam beberapa tahun ke belakang banyak membantu pertumbuhan ekosistem bandara. Berdasarkan amanat pemerintah, AP II juga ditugaskan mengambil alih beberapa operasional bandara.

Hingga akhir 2017 lalu, bersama dengan 13 bandaranya, AP II telah disinggahi 105 juta penumpang. Hingga November 2018 bersama 15 bandara, AP II sudah dikunjungi 120 juta penumpang. Awaluddin memperkirakan, dengan tambahan empat bandara, bandara AP II akan disinggahi sebanyak 130 juta penumpang pada 2019 nanti. Seiring meningkatnya daya beli masyarakat dan perbaikan fasilitas, transportasi udara semakin menjadi primadona transportasi masyarakat.

“Ini angka yang besar. Dibutuhkan infrastruktur dan kemampuan kami sebagai operator bandara untuk menyediakan kapasitas infrastruktur di tengah demand yang besar ini,” katanya.

Di bawah kepemimpinan Awaluddin, AP II juga berhasil mencatatkan pertumbuhan di atas rata-rata dunia. Bila industri global biasa mencatatkan pertumbuhan sekitar 5%-5,5%, maka AP II berhasil tumbuh hingga 10%-11%.

Ia mengingatkan bahwa strategi pelayanan bandara tidak melulu soal pembangunan. Tapi juga merujuk pada pembiayaan dan pengoperasian. Tata kelola dan operasional tidak bisa dilakukan secara konvensional. Makanya, semenjak bergabung dengan AP II, Awaluddin fokus membawa bandara-bandara di AP II sebagai smart and connected airport, baik dalam operasional bisnis aeronautika dan nonaeronautika.

Yang jelas, pembangunan yang dilakukan AP II tidak akan seperti sekarang apabila tidak didukung oleh jajaran direksi sebelumnya. Bila manajemen sebelumnya banyak berfokus pada infrastruktur fisik, maka saat ini AP II mulai berkonsentrasi menggarap soft infrastructure. Bagi Awaluddin, pembangunan soft infrastructure jauh lebih cepat untuk bisa diimplementasikan. Sebab, biaya soft infrastructure jauh lebih kecil dibandingkan pembangunan infrastruktur fisik.

Walaupun biayanya kecil, ada tiga dampak yang bisa dihadirkan. Pertama, meningkatkan pengalaman penumpang. Sehingga, penumpang bisa segera tahu dan paham ketika membutuhkan informasi seputar bandara dan penerbangan. Kedua, meningkatkan efisiensi. Sehingga, pendataan alat produksi bisa ter-manage dengan rapi. Ketiga, sistem Airport Operation Control Center yang terintegrasi. Di sini, AP II bisa mengetahui secara real-time tingkat ketepatan waktu maskapai, lama delay penerbangan, berapa pesawat yang sedang menggunakan gardabrata, dan lainnya.

AP II juga baru saja meluncurkan Airport Digital Lounge sebagai representasi program Airport Digital Journey Experience di seluruh bandara AP II. Kehadiran Airport Digital Lounge akan menggantikan information counter yang ada saat ini. Pengimplementasian Airport Digital Lounge juga akan disesuaikan dengan karakteristik masing-masing bandara yang dikelola Angkasa Pura II.

“Saat ini, kami memiliki tiga platform digital yang terpisah. Nantinya, saya ingin semuanya bisa jadi satu dan menjadi super portal, yang menjadi tempat berinteraksi baik untuk penumpang dan operasional stakeholder. Semua  bisa terintegrasi. Semuanya connect,” katanya.

Awaluddin sadar bahwa diferensiasi menjadi hal krusial dalam segala hal. Karenanya, dia mengajak seluruh bandara di AP II untuk memiliki keunikan dan clear strategic positioning. Semisal bandara udara di Banyuwangi dan Silangit diposisikan sebagai bandara untuk turisme. Sebanyak 50% lalu lintas penumpang di Banyuwangi adalah para wisatawan. Bila sudah memiliki positioning yang unik, maka kebijakan operasionalnya juga berbeda.

Di Bandara Udara Soekarno-Hatta, setiap karyawan menggunakan pakaian yang formal dan rapi, lengkap dengan dasi. Hal itu tidak akan kita temukan di Bandara Udara Banyuwangi. Di sana, mayoritas karyawan menggunakan polo shirt dan celana jeans.  Bandara Udara Banyuwangi juga diposisikan sebagai rute alternatif semisal ketika terdapat kendala di Bandara Bali, Lombok, dan Surabaya.  “Ini upaya dari kami untuk me-manage biaya dan skala prioritas operasi,” katanya.

Operator bandara pun harus bisa grow beyond core. Atau tumbuh di luar bisnis inti. Untuk bisnis non-aero, AP II memosisikan para peritel yang ada di bandara sebagai front end. Di sini, peritel harus bisa meningkatkan pendapatan tanpa bergantung dari pengunjung bandara. Mereka harus bisa meningkatkan pendapatan melalui komunitas dan ekosistem di bandara, contohnya pegawai yang bekerja di lingkungan bandara.

Belum lama ini, AP II juga bekerja sama dengan Grab untuk bisa mewujudkan aplikasi khusus yang menyediakan layanan pesan antar di kawasan bandara. “Ini yang disebut creating new business enhancement. Banyak ruang baru yang bisa dipersiapkan, melakukan improvisasi produk, serta memperbesar pasar. Ini yang dimaksud konsep beyond core,” tutup Awaluddin.

Related