Ancaman siber tak hanya menyasar kaum dewasa saja namun juga anak-anak. Terlebih, terlahir sebagai digital native, paparan teknologi yang lebih dini pada anak-anak memperbesar cakupan pemahaman anak-anak terhadap teknologi.
Makin besar akses yang dimiliki anak-anak dalam menggunakan teknologi, kian besar pula risikonya terpapar serangan siber. Perusahaan keamanan siber Kaspersky membeberkan beberapa ancaman siber yang mengintai anak-anak pada tahun 2024.
“Seperti yang bisa kita lihat, banyak tren yang terjadi di masyarakat juga berdampak pada kalangan anak-anak, sehingga menjadikan mereka target potensial bagi para penyerang. Hal ini mencakup perkembangan dan popularitas AI dan rumah pintar, serta perluasan dunia game dan industri fintech,” kata Andrey Sidenko, pakar keamanan dan privasi di Kaspersky dalam siaran pers, Rabu (17/1/2024).
1. Penggunaan AI
Menurut penelitian PBB, sekitar 80% anak muda mengaku berinteraksi dengan AI beberapa kali sehari. Dengan berkembangnya AI, banyak aplikasi yang kurang dikenal bermunculan dengan fitur yang tampaknya tidak berbahaya, seperti mengunggah foto untuk menerima versi modifikasi.
Namun, ketika anak-anak mengunggah gambar mereka ke aplikasi semacam itu mereka tidak pernah tahu di database mana foto-foto mereka akan tetap ada, dan apakah foto-foto itu akan digunakan lebih lanjut. Selain itu, aplikasi AI, khususnya chatbot, dapat dengan mudah menyediakan konten yang tidak sesuai usia saat diminta.
Misalnya, ada banyak chatbot AI yang dirancang khusus untuk memberikan pengalaman “erotis”. Meskipun beberapa anak memerlukan verifikasi usia, hal ini berbahaya karena beberapa anak mungkin memilih untuk berbohong tentang usia mereka dan pencegahan terhadap kasus-kasus tersebut tidak cukup.
2. Meningkatnya serangan aktor berbahaya terhadap gamer muda
Menurut statistik online terbaru, 91% anak usia 3-15 tahun bermain game di perangkat apa pun. Untuk beberapa game, obrolan suara dan teks yang tidak dimoderasi.
Dengan makin banyaknya generasi muda yang mengakses internet, para penjahat siber dapat membangun kepercayaan dengan cara sama, seperti yang mereka lakukan secara langsung. Pertama, penjahat siber mendapatkan kepercayaan dari pemain muda dengan memikat mereka dengan hadiah atau janji persahabatan.
BACA JUGA: Kaspersky Ungkap Bahaya Kode QR Palsu
Begitu mendapatkan kepercayaan, mereka mendapatkan informasi pribadi para gamer muda melalui ajakan untuk mengeklik tautan phishing, dan mengunduh file berbahaya yang menyamar sebagai mod permainan untuk Minecraft atau Fortnite, atau bahkan melakukan grooming.
3. Perkembangan industri FinTech untuk anak-anak menandai munculnya ancaman baru
Makin banyak bank yang menyediakan produk dan layanan khusus anak-anak, termasuk kartu perbankan yang dirancang untuk mereka berusia 12 tahun. Namun, dengan diperkenalkannya kartu perbankan untuk anak-anak, mereka juga menjadi rentan terhadap pelaku ancaman yang bermotif finansial dan rentan terhadap serangan penipuan konvensional, seperti janji PlayStation 5 gratis atau aset berharga lainnya setelah memasukkan detail kartu di situs phishing.
Dengan menggunakan teknik rekayasa sosial, penjahat siber dapat mengeksploitasi kepercayaan anak-anak dengan menyamar sebagai teman sebaya dan meminta pembagian perincian kartu atau transfer uang ke rekening mereka.
BACA JUGA: Kasperksy: 33% Peretasan Siber Terjadi Karena Salah Karyawan
4. Jumlah kasus ancaman rumah pintar dengan anak-anak berpotensi menjadi sasaran, akan meningkat
Meskipun meningkatnya jumlah kasus ancaman terhadap perangkat rumah pintar, produsen tidak terburu-buru menciptakan teknologi kekebalan siber yang dapat mencegah potensi eksploitasi kerentanan. Namun, hal ini juga berarti anak-anak dapat menjadi alat bagi penjahat dunia maya dalam melakukan serangan.
Misalnya, jika perangkat pintar menjadi alat pengawasan yang berfungsi penuh dan seorang anak sendirian di rumah, penjahat dunia maya dapat menghubungi mereka melalui perangkat tersebut dan meminta informasi sensitif, seperti nama, alamat, dan waktu, ketika orang tuanya tidak ada di rumah, atau bahkan nomor kartu kredit orang tuanya. Dalam skenario seperti ini, selain peretasan perangkat, terdapat juga risiko kehilangan data finansial atau bahkan serangan fisik.
5. Anak-anak akan menuntut ruang online/pribadi mereka dihormati
Seiring bertambahnya usia, anak-anak mengembangkan kesadaran diri yang lebih besar, yang mencakup pemahaman tentang ruang pribadi, privasi, dan data sensitif, baik offline maupun online. Akibatnya, ketika orang tua dengan tegas mengomunikasikan niatnya untuk menginstal aplikasi digital parenting di perangkatnya, tidak semua anak akan menerima hal tersebut dengan terbuka.
Inilah sebabnya mengapa orang tua kini memerlukan keterampilan untuk mendiskusikan pengalaman online anak-anak mereka dan pentingnya mengasuh aplikasi digital untuk keamanan online sambil tetap menghormati ruang pribadi. Hal ini melibatkan penetapan batasan dan ekspektasi yang jelas serta mendiskusikan alasan penggunaan aplikasi dengan anak di situasi apa pun.
6. Anak-anak sangat ingin mengunduh aplikasi yang tidak tersedia di negara mereka, namun justru menemukan salinan berbahaya
Jika suatu aplikasi tidak tersedia di wilayah Anda, para pengguna muda akan mencari alternatif, yang sering kali merupakan salinan berbahaya. Bahkan, jika mereka beralih ke toko aplikasi resmi, seperti Google Play, mereka tetap berisiko menjadi mangsa penjahat dunia maya.
Dari tahun 2020 hingga 2022, peneliti Kaspersky telah menemukan lebih dari 190 aplikasi yang terinfeksi Harly Trojan di Google Play, yang mendaftarkan pengguna ke layanan berbayar tanpa sepengetahuan. Perkiraan konservatif mengenai jumlah pengunduhan aplikasi-aplikasi ini adalah 4,8 juta, namun jumlah korban sebenarnya mungkin lebih tinggi lagi.
Editor: Ranto Rajagukguk