Dalam industri penerbangan, ilmu pemasaran biasanya dibutuhkan oleh perusahaan maskapai maupun online travel agent (OTA). Akan tetapi, operator bandar udara (bandara) nyatanya juga tak lepas dari pilar-pilar pemasaran. Banyak bandara di dunia yang mulai melakukan transformasi bisnis sebagai destinasi ketimbang sekadar sarana naik-turun penumpang.
Hal tersebut disampaikan oleh Muhammad Awaluddin, Direktur Utama PT Angkasa Pura II (Persero) saat membuka BUMN Marketeers Club Ke-48 di Terminal 3 Ultimate Gate 2, Tangerang. Menurut Awaluddin, bandara mulai mencari competitive strategy dengan cara menciptakan diferensiasi yang unik di pasar.
“Kalau kita lihat, bandara-bandara besar di dunia mulai mencari diferensiasinya, apakah sebagai heritage destination atau shopping destination,” ujar Awal saat menerangkan materi bertema Making Digital Airports Do More!
Begitu pun dengan berbagai bandara yang dikelola AP 2. BUMN ini mengelola 13 bandar udara nasional dengan 10 di antaranya menawarkan rute internasional. Untuk mencari diferensiasi yang distinctive, bandara harus melihat market based approach alias melihat kondisi di kawasan tempat bandara itu berada.
Selain itu, sambung Awal, AP 2 harus melakukan competitive strategy dengan pendekatan berbasis sumber daya. Artinya, bandara-bandara di AP 2 harus siap disandingkan dengan bandara internasional dunia, seperti Changi, Incheon, atau Heathrow London.
“Terakhir, bandara harus menerapkan cooperative strategy melalui kemitraan dengan nama-nama besar. Misalnya, kami memprioritaskan BUMN seperti Telkom dan BUMN Karya, sebab big names memiliki standar global,” akunya.
Karena itu, AP 2 mendorong setiap bandara melakukan branding masing-masing sesuai keunikannya. Selama ini, baru Bandara Internasional Soekarno-Hatta yang telah membangun karakter mereknya. Soetta dipersiapkan sebagai transportation hub, yang mengedepankan pertumbuhan di bidang non-aero untuk meningkatkan pendapatan.
Genjot Revenue Stream
Diakui Awal, komposisi pendapatan terbesar AP 2 masih dikuasai lini bisnis aerotika alias yang berkaitan dengan penerbangan, dengan porsi 62%. Sedangkan, sektor non-aerotika menyumbang 38%. Adapun, target pendapatan tahun 2017 dipatok Rp 8,6 triliun, tumbuh 34% dari tahun lalu yang sebesar Rp 6,5 triliun.
“Kami berharap pada tahun 2018, sektor non-aero mencapai 50%,” ucap mantan CMO PT Telkom Tbk ini.
Banyak langkah yang dilakukan AP 2 dalam menggenjot sektor di luar jasa penerbangan itu. Salah satunya, ia akan memaksimalkan pendapatan dari sektor ritel dengan masuk ke ranah digital.
Menurutnya, operator bandara di Indonesia selama ini hanya menjadi “penguasa lahan” yang menawarkan dua jenis skema bisnis, sewa lahan dan konsesi.
“Di dunia digital, tidak ada itu konsesi. Kita harus dorong e-commerce di bandara,” ungkap eks-Presiden Indonesia Marketing Association (IMA) ini.
Selain itu, AP 2 akan memanfaatkan potensi Big Data yang belum dimaksimalkan. Sebab, trafik kunjungan di Indonesia adalah yang tertinggi keenam di dunia. Tahun lalu saja, seluruh bandara di AP 2 telah melayani 95 juta trafik penumpang. Diproyeksikan angkanya akan meningkat 8,7% pada tahun ini atau menembus lebih dari 100 juta penumpang.
“Kami bisa mengamati pattern seseorang ke bandara, kapan mereka bisa pergi, dan ke mana mereka pergi. Data-data itu bisa kami tawarkan kepada maskapai agar ia mampu memformulasikan penawarannya kepada customer tersebut,” jelas penulis buku Digital Entreprenuershift dan Digital ChampionShift ini.
Editor: Sigit Kurniawan