Makro ekonomi menunjukkan tanda-tanda positif, namun mengapa ritel mengalami tren pertumbuhan single digit? Ini yang menjadi pertanyaan pelaku dan pengamat industri.
Pertumbuhan sektor ritel di Indonesia bisa dibilang mengalami masa gemilang ketika mampu mempertahankan pertumbuhan double digit selama sepuluh tahun terakhir sejak tahun 2003.
Bahkan, saat krisis ekonomi melanda dunia pada tahun 2008, sektor ritel negeri ini masih bertengger di posisi dua tertinggi di Asia Pasifik setelah China. Meski dihajar krisis, pertumbuhan ritel Indonesia tumbuh di angka 21,1% dari sisi nilai penjualan.
Memang, pada masa-masa tersebut, tingkat inflasi di Indonesia cukup tinggi, dengan inflasi tertinggi 17% dan terendah 8,4%. Bisa jadi, kenaikan penjualan ritel yang sebesar double digit tersebut disebabkan oleh kenaikan harga akibat inflasi.
Tren pertumbuhan double digit retail sempat mengalami penurunan beberapa kali, yaitu pada tahun 2009 terseok menjadi 4,7%, 2011 9,6%, 2014 8%, dan pada tahun 2016 harus puas bertengger di level 7,7%. Pada kuartal pertama tahun 2017 ini, pertumbuhan retail belum memberikan tanda-tanda pulih alias hanya tumbuh 3,9%
Padahal, jika dilihat dari makro ekonomi, kondisi Indonesia terbilang bagus. Inflasi cukup terjaga alias berada di bawah 4%. Kendati per April 2017, inflasi untuk pertama kalinya dalam setahun terakhir berada di level 4,17%.
Selain inflasi, rasio gini atau tingkat ketimpangan mengalami penurunan dengan angka terakhir di level 0,394. Sedangkan pertumbuhan ekonomi pada kuartal pertama 2017 membaik dengan pencapaian 5,01% (yoy). Belum lagi, ease of doing business atau kemudahan melakukan bisnis di Indonesia naik 15 peringkat dari posisi 106 menjadi posisi 91.
Sinyal positif juga didapat dari peningatan jumlah rumah tangga dengan anggaran belanja US$ 5.000-US$ 15.000 yang saat ini menguasai 36%-40% dari total populasi. Terlebih, Indonesia masih berada dalam urutan teratas sebagai negara teroptimis di dunia berdasarkan Indeks Keyakinan Konsumen versi Nielsen.
Dengan kata lain, sejumlah fakta makro ekonomi tersebut sebenarnya cukup untuk membantu mendongkrak pertumbuhan sektor retail hingga double digit. Akan tetapi, mengapa yang terjadi malah sebaliknya?
Yongki Susilo, Executive Director Nielsen Indonesia mengaku melihat anomali dari apa yang terjadi saat ini. Berbagai pihak termasuk pemain retail juga heran dengan kondisi yang ia sebut “uncertainty” atau ketidakjelasan ini. Biasanya, kata dia, ketika makro ekonomi berjalan baik, ekonomi mikro termasuk di dalamnya sektor ritel mengalami pertumbuhan.
“Ada faktor-faktor di luar ekonomi makro yang berdampak pada perilaku konsumen, akan tetapi tidak ditangkap dalam perhitungan statistik,” kata Yongki.
Ia melihat faktor intangible tersebut antara lain berkaitan dengan polemik Pilkada DKI Jakarta yang sempat menarik atensi seluruh masyarakat Indonesia. Kegaduhan politik malah membuat masyarakat menahan konsumsi.
Selain itu, berbagai faktor seperti ketakutan soal tax amnesty, Sapu Bersih Pungutan Liar (Saber Pungli), dan Aksi 4-1-2 juga membuat konsumen maupun pengusaha sama-sama melakukan wait & see. Para pemilik modal menunggu waktu yang tepat untuk berinvestasi dan memutar uangnya. “Bos-bos mulai mengerem ekspansi usaha, dampaknya terhadap belanja staf yang irit,” kata dia.
Ia melihat bahwa sebenarnya masyarakat kelas menengah dan kelas atas hanya mengerem pengeluarannya akibat sentimen tersebut. Artinya, mereka masih memiliki uang yang cukup untuk mengonsumsi barang di retail. Akan tetapi, bagi kalangan kelas bawah, kondisi tersebut telah memangkas buying power mereka.
Tak heran, General Trade (GT) atau toko tradisional yang biasanya tumbuh 10% pada Q1 2017 ini hanya tumbuh 5%. Yongki menyimpulkan bahwa konsumen kelas bawah mulai irit atau mengurangi belanjanya, sehingga membuat penjualan di gerai-gerai ritel mengalami penurunan.
“Biasanya, kondisi itu membuat konsumen secara umum berbelanja di tempat terdekat dari tempat tinggalnya, berbelanja sedikit-sedikit, basket size-nya mengecil, namum sering,” kata dia.
Yongki juga menemukan adanya anomali lain dari habit berbelanja konsumen saat ini. Di tengah aksi wait & see, beberapa kategori yang biasanya raising star malah mengalami penurunan baik value maupun volume penjualan.
Ini terjadi pada kategori air minum dalam kemasan (AMDK) dan ready to drink. Penurunan penjualan juga terjadi pada produk-produk kebutuhan sehari-hari, seperti psata gigi, shampo, dan sabun.
“Mungkin saja, orang membatasi membeli AMDK, dan membawa minum sendiri dari kantor atau rumah ketika ke luar ruangan,” asumsi Yongki.
Sebaliknya, lanjut Yongki, beberapa kategori sekunder alias yang dianggap tak begitu vital malah mengalami pertumbuhan. Sebut saja snack, cokelat, biskuit, dan susu kental manis. “Dalam depresi, konsumen perlu produk indulgence atau produk siap saji yang enak,” duga Yongki.
Wakil Ketua Asosiasl Pengusaha Ritel Indonesia (APRINDO) ini tengah menunggu festive season yang biasanya menjadi penyelamat dunia retail. Ia berharap, momen Ramadan dan Lebaran tahun ini mampu mendongkrak penjualan ritel.
Sebab, tahun lalu, Lebaran hanya mendongkrak pertumbuhan penjualan ritel sebesar 13%, terburuk dibandingkan tiga tahun sebelumnya yang pernah mencapai 38,7% pada tahun 2012. Setidaknya, Lebaran tahun ini mampu meningkatkan penjualan ritel sebesar 13%-15%.
Jika itu terjadi, pelaku pasar akan semakin optimistis memandang pertumbuhan ritel di Q3 dan Q4 2017. Apabila dua kuartal tersebut bergerak positif, maka pertumbuhan ritel pada tahun 2018 akan baik.
Setelah kegaduhan politik paska Pilkada mereda, Yongki tidak lagi melihat adanya agenda negatif lain sepanjang sisa tahun 2017 yang mempengaruhi dunia ritel.
“Saya harap tahun 2018 semuanya akan membaik, kembali normal alias double digit growth di kisaran 11%,” tutupnya.