Antara Market Leader vs Brand Challenger

profile photo reporter Taufik
Taufik
26 Januari 2024
marketeers article
Market Leader vs Brand Challenger (Ilustrasi: 123RF)

Oleh Taufik, Deputy Chairman MCorp., Sekjen IMA

Ada banyak contoh bagaimana merek-merek challenger menantang merek-merek market leader. Ada yang berhasil merebut posisi market leader. Ada pula yang terus menantang dan mengganggu pasar yang dikuasai market leader.

Kalau melihat peta perusahaan di Indonesia, ada yang memang dari dulu memang merupakan leader dan ada yang merupakan challenger.

Kalau mengacu pada time frame, ada leader yang beberapa tahun lalu merupakan challenger. Di sisi lain, ada leader yang berubah menjadi challenger!

Leader tidak hanya dalam posisinya berdasarkan share di pasar, tapi bisa juga dalam laba atau bahkan market capitalization. Artinya ada beberapa kategori leader, sesuai dengan jenis data yang tersedia. Di kategori yang berbeda itu, ada rules of the game yang berbeda.

Karena itu pula, leader dan challenger di beberapa sektor industri bisa saling bertukar posisi dalam periode tertentu. Tapi, ada juga leader dan challenger di sejumlah sektor industri yang tidak mengalami perubahan posisi berdasarkan rules of the games dari kategori yang berbeda dalam periode waktu yang lama. Ini jelas sebuah perbedaan menarik.

Telkomsel dan industri seluler

Ketika Telkomsel muncul 28 tahun yang lalu sebagai pemain kedua industri seluler di Indonesia, posisinya sungguh tidak menguntungkan.

Pada masa itu, ada pengaturan pasar yang unik yang membuat Telkomsel tidak bisa langsung muncul di pasar yang paling atraktif, Jakarta.

Tapi, kondisi ini dimanfaatkan oleh Telkomsel untuk membangun basis pelanggan, dan yang lebih penting lagi jaringan pelayanan, di luar Jakarta yang di kemudian hari menjadi kunci perubahan nasib.

BACA JUGA: Telkomsel Poin Jadi Strategi Jaga Loyalitas Pelanggan

Pengguna seluler tentu berharap bisa terus berkomunikasi bukan hanya di luar rumah atau kantor di satu kota tapi juga ketika di kota lain.

Pada masa kemunculan Telkomsel, kebutuhan semacam itu belum kuat terlihat karena orang yang melakukan mobilitas antarkota belum begitu banyak. Begitu ada peningkatan kesejahteraan, maka mobilitas perubahan antar kota pun meningkat.

Perubahan mobilitas membuat kebutuhan alat komunikasi yang sesuai dengan perubahan mobilitas meningkat. Ini yang membuat Telkomsel menemukan momentum sebagai pendukung orang-orang yang punya mobilitas tinggi.

Telkomsel jelas diuntungkan karena positioning-nya terbangun dengan mudah dan diferensiasinya dirasakan manfaatnya. Hal ini juga membuat para penggunanya menjadi endorser.

Dalam situasi ini, Telkomsel pun muncul sebagai challenger yang kuat di pasar Jakarta. Sebagian warga yang tinggal di Jakarta tapi punya mobilitas tinggi melihat Telkomsel melalui Kartu Halo-nya sebagai a must have product. Ditambah jaringan layanan dalam BTS yang ada di berbagai kota, posisi Telkomsel semakin kuat bagi pendukung mobilitas antar kota.

Hanya saja, untuk masuk ke bagian pasar yang besar dan menjadi kunci perubahan nasib, Telkomsel tidak cukup hanya mengandalkan Kartu Halo.

Pengguna Kartu Halo mesti memiliki kemampuan daya beli yang cukup tinggi. Sebab, saat digunakan di luar kota asal, akan ada biaya roaming.

Karena itu Telkomsel pun kemudian meluncurkan kartu GSM yang memenuhi keinginan pelanggan yang ingin tetap berkomunikasi di manapun dengan biaya terkontrol.

BACA JUGA: GSMA Tinjau Pengembangan Spektrum Frekuensi Seluler 5G di Indonesia

Keluarlah Simpati sebagai kartu prepaid GSM yang terbatas paket telekomunikasi seluler. Kemunculan Simpati kemudian menemukan momentum pada saat Indonesia mengalami krisis di tahun 1997 – 1998.

Penurunan daya beli yang tinggi membuat banyak orang ingin mengontrol biaya telekomunikasi. Produk prepaid GSM seperti produk yang sesuai dengan situasi krisis. Sehingga Simpati dicari banyak orang.

Dalam situasi ini, Simpati bisa dikatakan tidak punya pesaing kuat. Maka pelan tapi pasti Simpati menjadi produk yang digunakan banyak orang dan membuat Telkomsel menjadi market leader yang kuat.

Market Leader Sulit Digoyang?

Di industri yang resources hungry, posisi market leader yang kuat itu sulit digoyang, sehingga banyak yang lupa atau tidak tahu bahwa pada suatu masa Telkomsel pernah menjadi challenger.

Posisi resources sebagai faktor penentu perubahan posisi challenger menjadi leader juga terjadi di sektor perbankan. Di mana resources yang digunakan tidak harus semuanya milik sendiri, tapi bisa berkolaborasi dengan prinsip-prinsip win-win solution. Inilah yang terjadi pada BCA.

Ketika terjadi deregulasi perbankan di tahun 1988, BCA bisa dikatakan sebagai bank menengah dan belum tampak sebagai challenger.

Bank-bank BUMN yang jumlahnya saat itu banyak, dan sebagian di antaranya melayani korporasi seperti kumpulan raksasa. Beberapa bank tersebut bahkan sudah merintis program tabungan di tahun 1970-an yang dikenal dengan Tabanas atau Tabungan Nasional.

BACA JUGA: Naik 19,4%, Laba Bersih BCA Capai Rp 48,6 Triliun pada 2023

Sebagai bank menengah, BCA kemudian menjadi bagian kumpulan sejumlah bank swasta nasional yang sepakat menawarkan program bersama Tahapan.

Karena punya jaringan paling banyak di antara bank yang terlibat dalam program tersebut, BCA pun mendapatkan manfaat paling besar, berupa jumlah nasabah yang paling banyak. Tapi kesuksesan menarik nasabah paling banyak menjadi nice problem bagi BCA, yang berusaha melayani nasabah.

Meski bukan yang pertama memperkenalkan ATM di Indonesia, BCA adalah bank yang paling agresif dalam menambah ATM, sehingga seperti tersebar di mana-mana.

Ini yang membuat BCA sebagai bagian yang menawarkan Tahapan punya positioning yang clear dan didukung diferensiasi yang solid. Ketika kolaborasi antar bank dalam menawarkan Tahapan berhenti, branding Tahapan BCA mulai terbentuk.

Di tahap tersebut, BCA pun mulai menjadi challenger yang kuat. Keberadaan televisi swasta yang punya pemegang saham yang sama dengan pemegang saham mayoritas BCA, membuat BCA menemukan format kolaborasi unik berupa program edutainment perbankan yang dikenal nama Gebyar Tahapan BCA.

Tidak ada bank lain yang melakukan hal yang sama, sehingga membuat BCA punya kesempatan branding Tahapan BCA yang tidak tersaingi. Terlepas bahwa stasiun televisi yang dijadikan mitra kolaborasi bukan market leader di kategorinya.

Boleh dikatakan kolaborasi tersebut adalah kolaborasi di antara challenger. Karena dilakukan secara konsisten setiap minggu, kedua pihak yang terlibat sama-sama mendapatkan benefit dari Gebyar Tahapan BCA.

Nasabah dan calon nasabah mendapatkan program edukasi yang unik, dan televisinya punya program entertainment yang juga unik.

Hanya saja, BCA kemudian pernah merasakan masalah akibat kesuksesan dalam edukasi nasabah dan calon nasabah. Saat terjadi krisis yang berujung pada kerusuhan rasial pada Mei 1998, dan jatuhnya penguasa Orde Baru yang dikenal sebagai teman dekat pemegang mayoritas BCA, jutaan nasabahnya melakukan penarikan dana besar-besaran.

Akibatnya, BCA mengalami kesulitan dana dan mesti diambil alih pemerintah agar bisa terjaga kelangsungan usahanya. Meski terjadi perubahan kepemilikan, tapi program edutainment Gebyar Tahapan BCA terus berjalan tanpa henti.

Sehingga branding Tahapan BCA bisa dijaga, termasuk dalam meyakinkan nasabah dan calon nasabah BCA mengenai positioning dan diferensiasi yang tidak mengalami perubahan. Faktor-faktor tersebut yang membuat BCA cepat melakukan turn around dengan cepat, dan yang mengherankan tidak ada bank lain yang berusaha menandingi.

Untuk membuat acara edutainment mungkin mudah dilakukan. Tapi, membangun jaringan ATM butuh investasi yang besar, mirip dengan dengan membangun jaringan seluler. Perubahan kondisi ekonomi pascakrisis 1997 – 1998, membuat investasi menjadi jauh berlipat mahal.

Karena tidak ada pemain lain yang berusaha menandingi dalam aspek positioning dan differentiation, maka BCA pun akhirnya bisa mengukuhkan diri sebagai transactional banking leader.

BACA JUGA: Microsoft Berencana PHK 1.900 Pekerja Divisi Gaming

Bank-bank yang secara total aset jauh di atasnya, mengalami kesulitan untuk men-challenge kuatnya posisi BCA sebagai leader di kategori tersebut. Tapi tidak berarti tidak bisa dilakukan.

Sementara itu, keberhasilan membangun business model yang unik di bidang micro banking membuat BRI mampu dalam mencatatkan kestabilan pertumbuhan laba yang tinggi sehingga bisa menjadi bank dengan laba terbesar dalam kurun waktu yang lama.

Inilah yang kemudian dijadikan BRI sebagai modal dalam modernisasi jaringan pelayanan, termasuk penggunaan satelit di daerah terpencil dan lautan.

Di sisi lain, BRI memang punya jaringan fisik paling banyak dan paling tersebar di seluruh Indonesia serta punya jumlah nasabah yang paling banyak di Indonesia.

Itulah sebabnya begitu modernisasi jaringan pelayanan terlaksana sesuai rencana, maka BRI berubah dari challenger menjadi market leader dalam transactional banking, baik dari volume dan value.

Yang lebih penting lagi posisi tersebut membuat BRI juga berubah posisi dari challenger dan leader dari segi total aset. Tinggal satu kategori di mana BRI masih menjadi challenger, yaitu dalam market capitalization.

Inilah kategori di mana rules of the game tidak ditentukan oleh faktor yang berada dalam kendali sebuah perusahaan. Persepsi “rentan” dari berbagai perubahan regulasi atau “cawe-cawe” yang muncul membuat investor belum menjadikan BRI sebagai pilihan pertama, sekalipun punya kemampuan laba yang sungguh impresif. Apalagi memang ada kejadian terikat perubahan regulasi dan cawe-cawe yang sempat membuat BRI bukan yang terbesar dalam laba.

Related