Tahun 2017 bisa disebut sebagai tahun terburuk bagi dunia ritel di Indonesia. Satu per satu, ritel konvensional tumbang dari Tanah Air. Department store dan outlet fesyen menjadi kategori ritel yang paling sering tutup toko.
Salah satu petanda bisnis ritel terseok adalah ketika convenience store asal Jepang, 7-Eleven (Sevel) telah menutup 185 gerainya hingga tahun 2017. Ritel di bawah naungan Modern International, Tbk itu tak sanggup menanggung beban operasional yang membengkak. Alhasil, pada kuartal pertama tahun lalu, Sevel merugi Rp 447,9 miliar.
Di sisi lain, ruang ekspansi yang terbatas membuat Sevel sulit bersaing dengan Indomaret dan Alfamart yang bisa merangsek ke hampir setiap kota besar nusantara. Tak hanya toserba macam Sevel yang mesti gulung tikar. Pemain kawakan Matahari Department Store milik Lippo Group juga mesti menutup beberapa ritelnya. Di antaranya, di Pasaraya Grande Blok M dan Manggarai Jakarta.
Turut memeriahkan adalah Mitra Adiperkasa (MAP) yang mengumumkan penutupan department store mereka, yaitu Lotus dan Debenhams Senayan City. Kendati tutup, area seluas 12.000 meter persegi bekas Debenhams akan diambilalih oleh beberapa merek asing, seperti Zara, Uniqlo, dan Mark & Spencer. Konon, Lotte Department Store tertarik untuk masuk di lahan ritel seluas tiga lantai itu.
Menambah deretan panjang ritel yang sirna adalah PT Gilang Agung Persada yang memutuskan untuk mengakhiri riwayat kelima gerai ritel fesyen GAP di Jakarta, Bali, dan Surabaya per awal tahun ini. Langkah GAP di Indonesia sejatinya mengikuti aksi perusahaan induk GAP, Inc. yang berkomitmen menutup sedikitnya 200 gerai GAP dan Banana Republic di seluruh dunia dari total 2.000 gerai yang mereka miliki saat ini.
Aksi gulung tikar ritel di negeri ini berjalan bagai gayung bersambut. Metro Department Store menutup ritelnya di mal premium Jakarta Pacific Place. Teka teki seputar penyebab menutupnya ritel khususnya department store masih menjadi tanda tanya besar. Beberapa pihak mencoba untuk memberikan pandangannya.
Salah satu lembaga rating iklan televisi Adstensity mengungkapkan, sepanjang Januari-September 2017, iklan departement store yang tayang di layar kaca secara hitungan kotor mencapai Rp 40 miliar. Angka ini turun 50% apabila dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya.
Sebaliknya, iklan ritel online di televisi justru melonjak Rp 1,2 triliun pada periode yang sama. Menurut VP Operations PT Sigi Kaca Prawira Ridho Marpaung, iklan ritel online unggul jauh ketimbang iklan ritel offline di televisi.
“Saat ini, ritel online yang beriklan di televisi mencapai 16 perusahaan. Delapan di antaranya, memilki nilai iklan di atas Rp 40 miliar, atau lebih besar dari seluruh iklan departement store,” ujar dia seperti dikutip dari Okezone.com.
Sementara itu, sambung dia, hanya ada tiga departement store yang aktif melakukan promosi di televise, antara lain Matahari, Ramayana, dan Metro Departement Store. Melihat hal itu, bisa jadi, pendapatan yang berkuang membuat bujet iklan ritel offline seperti department store kian terbatas.
Kondisi di atas diakui oleh mantan wakil ketua Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Jimmy Gani yang menyebut tutupnya sejumlah ritel offline akibat perubahan tren konsumen yang berlaih ke media online atau e-commerce dalam berbelanja. Menurut dia, pertumbuhan bisnis ritel saat ini tidak sampai 10%. “Paling jika dirata-rata hanya 5%-7% saja,” kata mantan Dirut Sarinah ini.
Di sisi lain, Ketua Umum Aprindo Roy Mandey mengatakan, seharusnya ritel telah berbenah diri untuk me-reconcept ritelnya agar diterima konsumen saat ini. Menurut dia, konsep yang cocok diterapkan oleh pebisnis ritel dewasa ini adalah mixed use atau multifungsi. Ini mesti dilakukan akibat tren konsumsi masyarakat yang berubah.
“Bisnis modelnya menjadi ada macam-macam, tidak hanya department store atau hypermarket, tapi juga ada kuliner. Ada food court, ada entertainment-nya,” kata Roy.
Konsep multifungsi ini tengah diterapkan oleh MAP melalui department store-nya SOGO dan Seibu. Pantauan Marketeers di SOGO Kasablanka, department store seluas tiga lantai itu kini dipenuhi oleh berbagai tenan F&B yang menjadi bagian dari MAP, seperti Starbucks, Jamba Juice, dan Genki Sushi.
Apakah konsep multifungsi ini akan berhasil mempertahankan bisnis ritel kelak?
Editor: Sigit Kurniawan