Apakah Intelligence Amplification Lebih Baik dari Artificial Intelligence?
Terminologi Intelligence Amplification (IA) semakin banyak diperbincangkan di kalangan technology specialist (technologist). Tak sama dengan Artificial Intelligence (AI) yang mencoba mereplikasi kecerdasan manusia, IA merujuk pada kolaborasi antara manusia dengan teknologi. Lantas, manakah yang lebih baik antara AI dengan IA?
Sebuah cerita klasik mengenai cikal bakal kehadiran teknologi AI yang dikembangkan IBM atau yang kini dikenal dengan Watson bermula pada akhir 1990.
Kala itu, IBM menantang juara dunia catur Garry Kasparov untuk bertanding melawan supercomputer mereka, Deep Blue. Versi pertama Deep Blue gagal mengalahkan juara catur dunia tersebut.
Dari kekalahan pada versi Deep Blue 1.0, IBM kemudian mengembangkan algoritma Deep Blue dan mampu memproses 200 juta chess position per detik. Setahun kemudian, IBM kembali menantang Kasparov untuk bertanding melawan Deep Blue versi berikutnya.
Pada pertandingan kedua itu, Deep Blue berhasil menjadi komputer pertama yang mengalahkan juara dunia catur. Kasparov pun mengelak kekalahan tersebut dengan berbagai alasan. Ia mencurigai terdapat interfensi langkah yang dilakukan oleh manusia yang bertugas sebagai operator pemindah buah catur. Ia pun mengaku mengalami kecemasan lantaran tidak dapat membaca body language dari kompetitor yang merupakan komputer.
Pertarungan yang dianggap lebih adil kemudian digelar. Para juara terbaik catur bertanding menggunakan komputer dengan para pemain lain. Di sini, kemampuan bermain catur manusia diimbangi dengan kemampuan komputer.
Kompetisi baru yang dikenal dengan istilah freestyle chess pada 2005 ini menunjukkan hasil mengejutkan. Pasalnya, tim ZackS yang terdiri dari para pemain catur amatir justru menjadi pemenang dalam kompetisi ini. Yang lebih menarik, mereka tidak menggunakan supercomputer, melainkan regular computer.
Para pemain catur amatir yang menggunakan regular computer ini mampu mengalahkan para juara terbaik catur di dunia dan supercomputer. Bahkan, kombinasi antara para juara dunia dengan supercomputer pun berhasil dikalahkan oleh tim ZackS.
Menurut Iwan Setiawan, CEO of MarkPlus, Inc., hal ini membuktikan jika hasil yang optimal tidak bergantung pada kecerdasan manusia atau teknologi, melainkan simbiosis di antara kedua hal tersebut.
“Bukan masalah apakah human atau machine yang smart, tetapi apakah simbiosis di antara kedua hal itu menghasilkan outcome yang optimal untuk tim tersebut. Ini yang menjadi landasan insight yang mengatakan jika IA is always better than AI,” ujar Iwan dalam gelaran virtual Marketing 5.0 Technology for Humanity Webinar Series di Jakarta, Rabu (11/11/2020).
IA merupakan alternatif yang mencoba menjawab keterbatasan dari AI. Faktanya, kecerdasan manusia begitu kompleks dan AI tidak mampu untuk mereplikasi hal tersebut secara menyeluruh. Alhasil, hingga saat ini pengaplikasian AI begitu sempit. Chatbot misalnya, merupakan salah satu bentuk AI yang hanya sebatas mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan tertentu.
IA merupakan cabang baru dari pemanfaatan teknologi, seperti AI untuk mendukung manusia. Bukan untuk menggantungkan, namun menambah kekuatan manusia dalam memproses informasi.
“IA tidak mencoba menggantukan manusia, melainkan menambah kekuatan manusia dengan teknologi. Ketika machine dilatih dengan benar oleh manusia (data scientist) secara lebih optimal, maka outcome yang diperoleh akan lebih optimal,” jelas Iwan.