Apakah Unicorn Indonesia Berikutnya dari Health Tech-Startup?

marketeers article

Pernahkan Anda membeli obat flu tanpa resep dokter yang beredar di pasar lewat aplikasi online? Walau memang masih sedikit di antara kita yang memanfaatkan teknologi online dari health tech-startup, tapi trennya terus meningkat. Meski begitu, harus diakui bahwa penetrasi health tech-startup terbilang lambat.

Bisa dikatakan potensi yang bisa diambil para health tech-startup di industri kesehatan sangat besar sekali. Tidak sebatas dalam bisnis jual beli produk farmasi. Industri kesehatan sangat luas dan memiliki ceruk-ceruk bisnis yang bisa digali. Nilai pasar industri kesehatan pun sangat besar dan terus berkembang.

Secara nilai, Roland Berger Strategy Consultants pernah membuat prediksi bahwa nilai pasar healthcare di Indonesia akan terus menggelembung di masa mendatang. Perkiraanya, pada tahun 2025 mencapai US$ 363 miliar. Angka ini sudah mencakup anggaran kesehatan yang dialokasikan ke asuransi hingga penambahan nutrisi.

Meskipun pasarnya besar, ternyata tidak serta merta bisa digarap oleh para health tech-startup dengan cepat. Berbeda dengan industri lain, ritel misalnya, yang begitu cepat mengadopsi model e-commerce yang ditawarkan para tech-startup. Lain pula dengan jasa transportasi ketika masyarakat langsung adaptif dengan tawaran dari para pelaku tech-startup.

Industri kesehatan adalah lingkungan yang sangat erat kaitannya dengan nyawa, sehingga banyak regulasi yang mengaturnya. Di sisi lain, kesadaran masyarakat Indonesia pada kesehatan sekarang ini sedang tumbuh dan perlu tambahan waktu untuk dibawa ke level berikutnya, yakni adaptif pada layanan yang ditawarkan health tech-startup. Inilah keunikan dari dunia kesehatan dan health tech-startup itu sendiri.

“Untuk meningkatkan awareness health tech-startup dan mengajak orang menggunakan health tech tidak bisa dalam waktu singkat. Perlu ada proses dan edukasi terus menerus oleh para pelaku health tech-startup,” kata Gregorius Bimantoro, Founder& CEO ATOMA-PROSEHAT.

Harus diakui bahwa kucuran dana dari investor ke para health tech-startup tidak seagresif di tech-startup bidang lain. Sekitar tiga tahun lalu, bisa dihitung dengan jari health tech-startup yang mampu mendapatkan pendanaan hingga seri A, salah satunya Apotik Antar. Bahkan, dalam riset Indonesia Venture Capital Outlook oleh Google dan A.T. Kearney Study, dari tahun 2012 hingga 2017, pendanaan untuk health tech-startup belum muncul dalam top categories sector.

Namun begitu, masa untuk health tech-startup sepertinya mulai tiba. Masih dari studi yang sama, di masa mendatang ada dua kategori tech-startup yang akan menjadi pilihan investor, yakni fintech dan healthcare tech-startup. Hanya saja, fintech masih menjadi pilihan (65%), sedangkan healthcare tech-startup  (25%).

Secara umum, ada tiga hal yang bisa digarap oleh para pemain health tech-startup, yakni konsumen, tenaga kesehatan, dan industri. Adapun industri mencakup alat kesehatan, obat-obatan, hingga laboratorium medis. Lewat tiga hal ini, para health tech-startup menggali revenue stream dalam beragam cara.

“Sebenarnya, yang bisa dimonetisasi oleh health tech-startup  dari industri kesehatan itu sangat luas. Mulai dari layanan booking kamar di rumah sakit hingga pengolahan data. Lewat analisis data ini, kita bisa untuk mempelajari perilaku orang terkait kesehatan, bisa memprediksi penyakit yang berpotensi muncul,” kata Dimas Prasetyo, Founder & CEO PesanLab.

PesanLab adalah salah satu pemain health tech-startup yang bermain di sisi industri. Health tech-startup lahir di tahun 2015 dengan nama LabConX, lalu berganti nama menjadi PesanLab pada akhir awal tahun 2016.

Layanan kesehatan ke rumah sepertinya juga akan menjadi tren di masa mendatang. Salah satu health tech-startup yang bermain di sisi ini adalah Homecare24 yang menawarkan layanan 24 hours for caring. Homecare24 menyediakan perawat dan caregiver yang merupakan lulusan D3 Keperawatan dan memiliki Surat Tanda Registrasi (STR).

Menggandeng perawat dan ceregiver lulusan D3 serta bersertifikasi menjadi differensiasi dari mereka. Di sisi lain, menjadi salah satu upaya mengedukasi konsumen bahwa penanganan medis tidak bisa dilakukan oleh tenaga medis yang pendidikannya belum mencapai diploma.

“Kalau di negara-negara yang penanganan kesehatannya lebih maju, baik perawat dan caregiver itu musti lulusan diploma. Inilah yang ingin kami terapkan di sini. Apalagi, merawat di rumah sakit dan rumah itu berbeda sama sekali, jadi perlu keahlian yang teruji,” kata Theresia Lumban Gaol, Founder & CEO Homecare24.

Potensi homecare ini terbilang besar lantaran ada kesenjangan antara jumlah tempat tidur di rumah sakit dan jumlah pasien. Sekarang ini, jumlah tempat tidur di rumah hanya 230.000 buah. Untuk beberapa penyakit tertentu akan memberatkan pasien bila harus menginap lama di rumah sakit.

Bila mengacu pada kisah-itu, sepertinya kran aliran dana untuk health tech-startup sudah semakin deras. Apalagi, secara bisnis para pelaku health tech-startup ini bisa membuktikan bahwa mereka bisa menghadirkan bisnis yang berkelanjutan. Dan, jika melihat nilai di industri kesehatan, rasanya sangat memungkinkan akan muncul unicorn dari health tech-startup di Indonesia.

 

*) Tulisan selengkapnya ada di Majalah Marketeers Edisi Oktober 2017

Related