Hubungan diplomatik Indonesia dengan Jepang sudah memasuki usia ke-60. Termasuk di dalamnya hubungan dagang di sektor kesehatan, khususnya teknologi kesehatan. Menandai momen berharga ini, Jepang yang diwakili oleh Japan Medical Instruments Co. Ltd (JMIC) melakukan Memorandum of Understanding (MoU) dengan holding rumah sakit BUMN yang tergabung dalam Indonesia Healthcare Corporation atau IHC.
JMIC merupakan perusahaan swasta asal Chuo-ku, Tokyo yang memproduksi dan menjual peralatan laboratorium untuk penggunaan di bidang medis. Perusahaan ini juga berinvestasi mendirikan fasilitas kesehatan dan sekolah kedokteran di Jepang.
Dengan MoU ini, diharapkan terjalin kerja sama bisnis antara kedua belah pihak dalam upaya meningkatkan kualitas fasilitas kesehatan atau rumah sakit yang dikelola oleh perusahaan plelat merah.
Hiroo Seki, Presiden JMIC menjelaskan, alasan pihaknya bekerja sama dengan rumah sakit BUMN karena jumlah rumah sakit yang dikelola mencapai lebih dari seratus unit dan tersebar di berbagai kawasan nusantara. Selain itu, rumah sakit pemerintah selalu mengedepankan program-program kesehatan nasional, ketimbang sekadar mencari keuntungan.
“MoU ini akan memudahkan rumah sakit BUMN untuk melakukan pengadaan alat-alat rumah sakit serta fasilitas lainnya, termasuk konsultasi bagaimana menjalankan proses bisnis rumah sakit yang efektif sekaligus efisien,” terang dia sebelum penyelenggaraan Advanced Medical and Medicine Forum (AMMF) di Hotel Mulia, Senayan, (24/7/2018).
Ia melanjutkan, di Indonesia, sudah bermunculan rumah sakit pemerintah yang bagus dari segi lokasi dan gedung, namun masih tertinggal dalam hal medical equipment. Padahal, peralatan medis berperan besar dalam memberikan pelayanan dan keakurasian hasil diagnosa kepada pasien.
“Misalnya saja alat X-ray dalam radiologi. Kalau alatnya jelek, hasilnya pun akan jelek. Apalagi, teknologi terus meningkat,” papar dia.
Salah satu keunggulan alat kesehatan Jepang dibandingkan buatan Eropa atau Amerika adalah harga. Dengan memperoleh hasil yang sama, rumah sakit di Indonesia dapat membeli produk alkes dengan harga yang lebih murah.
“Karena itu, salah satu rencana jangka panjang MoU ini adalah investasi. Kami berharap ada pihak dari Indonesia yang mau berinvestasi alat kesehatan dari Jepang di sini. Sehingga bisa menekan harga,” papar dia.
Tak hanya transfer pengetahuan
Kerja sama JMIC dengan IHC ini, sambung dia, murni kerja sama Business-to-Business (B2B). Sebelumnya, kerja sama kedua belah pihak telah berjalan sejak empat tahun lalu. Namun, itu lebih kepada transfer ilmu pengetahuan di bidang kesehetan dari pakar medis Jepang kepada tenaga medis Indonesia.
Hal tersebut pernah dirasakan oleh PT Pertamina Bina Media (Pertamedika), anak usaha PT Pertamina (Persero) di bidang fasilitas kesehatan dan sekolah kedokteran. Beberapa rumah sakit yang dikelola Pertamedika pernah menerima transfer ilmu pengetahuan mengenai liver implant dari profesor-profesor ahli penyakit dalam asal Jepang.
Menurut Presiden Direktur & CEO PT Pertamedika Dany Amrul Ichdan, selama ini, rumah sakit BUMN belum memiliki rumah sakit ikonik atau flagship hospital kelas internasional. Ia bilang, tantangan dalam menghasilkan flagship hospital itu adalah perbaikan infrastruktur. Salah satunya memiliki alat rumah sakit yang berkualitas dan berstandar global.
“Padahal, rumah sakit BUMN memiliki banyak aset yang idle, yang secara hitungan ekonomis, memiliki value hingga ratusan triliun,” papar Amrul.
Oleh sebab itu, lewat kerja sama dengan JMIC, IHC berharap apabila mitra Jepang tidak hanya menjadi pemasok alat kesehatan dan memberikan transfer knowledge. Melainkan, ia juga menjadi investor pembangunan fasilitas kesehatan bekerja sama dengan IHC.
“Kami mengharapkan dalam jangka panjang, ada perjanjian mengenai revenue sharing dari pengelolaan rumah sakit atau faskes yang dibentuk dari investasi bersama,” tegasnya.
Pada kenyataannya, rasio jumlah faskes terhadap jumlah penduduk di Indonesia masih amat rendah. Jepang dengan populasinya yang sebesar 127 juta jiwa memiliki 8.000 rumah sakit. Sementara Indonesia dengan jumlah penduduk dua kali lipat dari Jepang atau setara 250 juta jiwa hanya menaungi 2.000 rumah sakit.
“Tak heran, jumlah pasien Indonesia yang berobat ke Jepang itu tinggi dan selalu meningkat setiap tahun. Medical tourism yang dirasakan Jepang seharusnya bisa dinikmati di negeri sendiri,” tambah Dr. Slamet, Staf Ahli Bidang Teknologi Kesehatan dan Globalisasi Kementerian Kesehatan RI.