Badai Menerjang di Pasar Properti Tahun 2015

marketeers article
Real Estate Indonesia (REI) menilai, pertumbuhan ekonomi nasional tahun 2014 yang menurun dari target, dari 5,5% menjadi hanya 5,1%, berdampak pada perlambatan transaksi penjualan real esate di semua subsektor properti. Padahal, Indonesia merupakan negara yang masih kekurangan tempat tinggal (backlog) yang cukup tinggi, yaitu mencapai 13,6 juta unit.
 
Dampak perlambatan ekonomi terhadap properti tercermin dari penyaluran Kredit Pemilikan Rumah (KPR) dan Kredit Pemilikan Apartemen (KPA) yang turun 0,03% sepanjang kuartal tiga tahun 2014. Alhasil, realisasi investasi asing dan domestik di sektor properti hanya tumbuh 8,4% dari target 10% atau sebesar Rp 13,1 triliun.
 
“Walau di luar target, tapi pertumbuhan itu cukup baik, karena industri properti secara umum masih bisa menghadapi masalah perubahan suku bunga Bank Indonesia yang naik tiap tahun dari tahun 2013 ke 2014, dan dari tahun 2014 ke 2015,” kata Eddy Hussy, Ketua Umum Real Estate Indonesia (REI), saat menjadi pembicara di acara Marketeers Diner Seminar di Ballroom Ritz Carlton Mega Kuningan, Rabu (28/1/2015).
 
Kenaikan BI Rate sebesar 25 basis poin menjadi 7,75% pada November 2014 lalu, kata Eddy, menyebabkan suku bunga KPR perbankan naik rata-rata 12% menjadi 13-14% yang aktif per Januari 2015. Apalagi, pengembang properti juga dihadapkan pada persoalan kebijakan yang kontraproduktif, di antaranya adalah aturan larangan KPR Indent, kenaikan ketentuan Loan to Value (LTV), serta rencana perluasan objek pajak bagi sektor properti sangat mewah.
 
“Akibat kenaikan suku bungan KPR itu, maka cicilan KPR diprediksi naik 25-30%. Terlebih, keharusan down payment (DP) sebesar 30% itu terlalu memberatkan bagi masyarakat menengah ke bawah, mengingat mereka tidak terbiasa menabung. Bahkan, aturan tersebut dirasa tidak dapat memperkecil jumlah kekurangan perumahan atau backlog,” katanya
 
Belum selesai beradaptasi dengan aturan LTV, pengembang properti juga harus kembali menghadapi larangan Bank Indonesia (BI) soal KPR indent untuk pembelian rumah kedua dan seterusnya. Aturan ini menyebutkan bahwa bank hanya memberikan fasilitas kredit bagi nasabah untuk rumah pertama. Selain itu, properti yang dijadikan agunan pun harus terlihat wujud fisiknya. 
 
“Artinya, untuk rumah kedua dan seterusnya tidak mendapat KPR Indent. Ini akan sangat berpengaruh terhadap cash flow perusahaan properti,” imbuh Eddy. 
 
Eddy melanjutkan, demi merangsang pasar yang lesu, banyak pemain properti yang akhirnya memberikan fasilitas ciclan yang panjang, yang mencapai tiga tahun atau 36 bulan tanpa bunga. “Itu guna mendorong industri bisa tumbuh minimal 8,4% atau sama dari tahun lalu,” tambahnya. 
 
Meskipun terjadi tren penurunan akibat aturan ketat dari BI, akan tetapi dukungan sektor perbankan untuk properti malah tumbuh positif sebesar 15,7%. Jumlahnya bahkan lebih tinggi dari realisasi pada November 2014 yang sebesar 11,9%.
 
Sebab itu, Eddy optimistis industri properti masih dapat bergairah dalam beberapa tahun mendatang. Selain karena pemulihan ekonomi Amerika Serikat yang mendorong pertumbuhan ekonomi global, juga adanya investasi asing yang mengalir di sektor tersebut. Terlebih, Indonesia akan dibanjiri pemain properti asing paska bergulirnya Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) pada akhir Desember 2015 mendatang.
 
“Pemain properti asing akan mendorong pencapaian target pertumbuhan industri sebesar 10%. Akan tetapi, kami harus hati-hati menghadapi MEA. Kalau tidak, kita akan kewalahan dari segi finansial dan SDM. Saya melihat, perusahaan properti nasional kita juga bagus dari sisi manajemen dan keuangan,” tuturnya.
 
Insentif Pemerintah
Walau diterjam banyak tantangan, industri properti masih menemui sejumlah peluang. Salah satunya menyangkut insentif pemerintah soal rencana kebutuhan pembiayaan infrastruktur yang tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2015-2019. RPJM sendiri diterbitkan oleh Presiden Joko Widodo melalui Peraturan Presiden No.2 tahun 2015.
 
Dalam aturan itu disebut bahwa rencana kebutuhan pembiayaan infrastruktur mencapai Rp 5.500 triliun, atau Rp 1.100 triliun per tahunnya. Dari angka itu, 10,5%-nya diperuntukkan untuk pembangunan perumahan atau sebesar Rp 579,5 triliun hingga tahun 2019
 
Apalagi, pemerintah tengah menggalakkan program 1 juta unit rumah yang diprediksi memakan anggaran sebesar Rp 50 triliun. Namun sayang, ketersediaan anggaran dari program itu masih amat kurang. Saat ini pemerintah hanya memiliki Rp 8,3 triliun dari APBN, Rp 5,1 triliun dari KPR-FLPP, dan  Rp 2 triliun dari Bapertarum-PNS. Total anggaran itu hanya mampu mendanai pembangunan 311 ribu unit rumah.
 
“Kami yakin jika program 1 juta unit rumah tercapai, pertumbuhan properti tahunan bisa menyampai 15-20%. Kalau tidak berjalan, paling pertumbuhannya masih 10%. Artinya sektor properti di Indonesia menjanjikan,” ucapnya.

Related

award
SPSAwArDS