Saat ini, Gen Z tengah menjadi perbincangan hangat. Generasi ini dikatakan akan lebih mendominasi populasi dunia untuk beberapa tahun ke depan. Banyak merek yang akhirnya menangkap peluang pasar Gen Z dengan menghadirkan berbagai inovasi.
Namun, Gen Z sendiri memiliki pandangannya terhadap sebuah merek. Perlu diketahui, tidak seperti generasi milenial, generasi Gen Z lebih tidak bisa engage dengan merek tertentu.
“Kalau kita lihat lagi, sedikit sekali Gen Z yang memiliki koneksi yang kuat dengan sebuah merek. Ada survei yang mengatakan, hanya 39% Gen Z diumur 16-18 tahun yang memiliki koneksi kuat dengan merek. Sedangkan, hanya 46% untuk umur 19-21%,” kata Yosanova Savitry, Senior Vice President MarkPlus Institute.
Yosanova kemudian menjelaskan beberapa hal penting yang perlu dilihat merek dalam menangkap pasar Gen Z. Pertama, Gen Z tidak suka didefinisikan dengan satu cara. Seperti yang kita ketahui, Gen Z adalah generasi yang melek akan gender. Banyak dari mereka yang mendefinisikan diri sebagai genderless atau gender fluid. Ini berlaku saat memilih merek di mana mereka suka dengan merek yang unisex.
“Kedua, mereka ini tidak suka merek yang responnya lama. Jadi ketika ada komplen atau mereka berusaha menghubungi merek, usahakan paling lama merek merespon itu satu jam. Bahkan satu jam saja terkadang dianggap lama oleh mereka,” jelas Yosanova.
Ketiga, mereka tidak suka merek yang terlalu idealis. Ini yang harus diperhatikan oleh para pemilik merek. Gen Z dikatakan memiliki toleransi yang tinggi terhadap sesuatu. Karena itu, merek seharusnya tidak perlu membuat idealis yang terlalu ekstrem yang akhirnya membuat kesan mengkotak-kotakan.
Yosanova kemudian mengatakan, pemasar kemudian harus menciptakan customer experience yang baru untuk membuat Gen Z lebih engage kepada merek. “Sebuah merek harus fasilitasi aware, appeal, ask, dan advocate. Tidak hanya menyediakan channel pembelian,” jelasnya.
Kemudian, merek perlu menyatukan antara human dan machine untuk dapat menjadi engaging brand. Yosanova menjelaskan, unsur machine dapat dimanfaatkan untuk engaging ke Gen Z, sedangkan human dapat dijadikan sebagai touch ke customer.
“Merek harus lebih jeli dalam memanfaatkan teknologi yang dapat membantu peran manusia yang bisa digantikan secara efisien melalui teknologi. Jangan pikir kanal terus,” kata Yosanova.
Editor: Ramadhan Triwijanarko