Bagaimana Cara Brand Bertahan Saat dan Setelah Pandemi?

marketeers article
Hermawan Kartajaya Menyerahkan Industry Marketing Champion di IMF Bali Nusra 2022. (FOTO: Dok MarkPlus)

Pandemi virus corona memiliki dampak yang sangat besar terutama pada perekonomian. Banyak negara yang pertumbuhan ekonominya mengalami kontraksi, dan hampir semua negara mengalami pertumbuhan negatif. Menteri Keuangan Sri Mulyani bahkan telah memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia dapat mengalami zero growth.

Namun, yang menjadi pertanyaannya adalah dampak seperti apa yang akan dirasakan oleh perusahaan. Hermawan Kartajaya, Founder dan Chairman MarkPlus, Inc. memaparkan setidaknya terdapat dua kasus yang dapat dialami perusahaan pada masa krisis, yaitu turun (storm) seperti industri pariwsata dan ritel, serta tumbuh (windfall) seperti farmasi, telekomunikasi, dan e-commerce.

Perusahaan juga perlu memikirkan strategi jangka panjang dan pendek bagi brand mereka. Sehingga, mereka dapat bertahan saat dan setelah pandemi. Diperlukan rencana SPA (servicing/surviving, preparing, dan actualizing) dalam masa krisis seperti saat ini.

“Perusahaan harus menggabungkan short term dan long term. Sehingga tidah hanya surviving atau servicing yang ditingkatkan, tapi juga harus preparing untuk long term,” jelas Hermawan dalam webinar Surviving The Corona, Preparing The Post, Jumat (03/04/2020).

Tahap surviving atau servicing menekankan pada strategi perusahaan dalam jangka pendek. Dalam tahap ini, dibagi menjadi dua strategi marketing yaitu customer management dan product management.

“Tahap ini juga saya sebut sebagai Marketing Continuity Brand (MCB), artinya pemasar sadar jika brand harus berkelanjutan,” jelas Hermawan.

Berbicara mengenai customer management, tak lepas dari anxiety dan desire konsumen. Dalam masa krisis ini, konsumen ingin dimengerti kegelisahannya, sehingga brand harus responsif dan berempati pada kebutuhan mereka.

Brand dalam tahap servicing juga harus menunjukkan reliability produk mereka, apakah produk aman dikonsumsi, gampang diakses, dan bisa diandalkan. Selain itu, brand juga harus memberikan assurance atau jaminan rasa aman.

Sedangkan dalam product management terdapat price dan promotion. Di masa krisis, sangat susah untuk membuat produk baru, sehingga price atau hargalah yang perlu dimainkan. Tidak selalu harus harga murah, melainkan bisa dengan cara lain seperti subsidi.

Ada pula promotion, yang menekankan pada komunikasi dengan pelanggan. Saat pandemi, brand banyak yang tidak bisa berjualan, sehingga hanya dapat melakukan promosi. “Promosi juga bukan berarti promosi jualan produk tapi dapat berupa komunikasi dengan pelanggan apa yang sedang kita lakukan pada masa ini,” ujar Hermawan.

Tahap preparing adalah mempersiapkan jangka panjang setelah krisis berakhir. Dalam hal ini, perusahaan perlu menyesuaikan Quality, Cost, Delivery, Service (QCDS). Terdapat beberapa pendekatan yang dapat dilakukan oleh perusahaan.

Pertama, More Quality, Less Price, setelah masa pandemi virus corona konsumen akan lebih mementingkan kualitas produk. Kedua, Less Cost, More Productivity, perusahaan harus lebih meningkatkan efisiensi dengan biaya lebih rendah dan produktifitas makin meningkat.

Sedangkan pendekatan ketiga dan keempat memanfaatkan OMNI online-offline (O2O). Offline delivery, online transaction diterapkan ketika kita semua semakin terbiasa menggunakan layanan e-commerce atau platform lain yang serupa seperti Grab maupun Gojek.

Sementara pendekatan terakhir, online service, offline transaction menawarkan layanan secara online dan terdapat pilihan transaksi secara offline. Malah pada beberapa kasus, pelanggan yang melakukan transaksi secara offline dapat ditawarkan penawaran menarik.

Related