Bagaimana Produsen Sampah Memerangi Sampah?

marketeers article
A worker uses a rope to move through a pile of empty plastic bottles at a recycling workshop in Mumbai June 5, 2014. According to the United Nations Environment Programme website, World Environment Day is celebrated annually on June 5 to raise global awareness and motivate action for environmental protection. REUTERS/Danish Siddiqui (INDIA Tags: ENVIRONMENT SOCIETY TPX IMAGES OF THE DAY)

Lautan di Bumi sudah tercemar oleh sampah. Apa yang manusia produksi dan konsumsi selama ini menyisahkan residu terbesar sepanjang abad. Ada sekitar 8 juta ton meter kubik sampah plastik yang terbawa ke lautan setiap tahun. Itu setara dengan membawa 2.740 ekor gajah jantan ke lautan setiap harinya.

Indonesia sudah lama dikenal sebagai negara produsen sampah terbesar kedua setelah China. Peneliti dari University of Georgia, AS, Jenna Jambeck pada tahun 2015 melaporkan bahwa sampah plastik Indonesia ke laut mencapai 187,2 juta ton yang mana angka ini meningkat saban tahunnya.

Sampah plastik berasal dari beragai macam jenis, mulai dari serat pakaian, rokok, pembalut/popok, jaring plastik, dan kemasan makanan. Sifatnya yang ringan membuat mereka dengan mudahnya mengapung dan terbawa aliran air, baik dari sungai maupun pesisir laut.

Tak heran, satu per satu perusahaan consumer goods mulai menjadikan isu sampah dan laut sebagai konsentrasi utama mereka. Sebab, merekalah yang membuat kemasan yang berujung menjadi sampah yang menggenang di samudera. Bahkan, disinyalir pada tahun 2020 nanti, jumlah sampah akan lebih banyak dibandingkan ikan di lautan.

Rakasasa minuman Coca-Cola secara terang-terangan menyatakan komitmennya untuk mengurangi sampah di lautan dengan cara merevolusi kemasan yang mereka buat. Perusahaan asal Atlanta, Amerika Serikat itu menyatakan bakal mengumpulkan dan mendaur ulang semua kemasannya pada tahun 2030. Langkah ini mampu meminimalisir penggunaan botol baru dan setidaknya 50% botol plastik yang digunakan berasal dari botol daur ulang.

“Jika dibiarkan, sampah plastik akan perlahan-lahan menutupi lautan dan saluran air,” kata CEO Coca-Cola James Quincey yang menulis dalam sebuah posting-an blog. Ia melanjutkan, “Perusahaan harus melakukan fungsi mereka dengan memastikan kemasan mereka benar-benar dapat didaur ulang.”

Dari 120 miliar botol yang diproduksi Coca-Cola setiap tahunnya, bahan daur ulang baru menyumbang kurang dari 10% botol plastik. Sedangkan, untuk kemasan kaleng sudah hampir 50%. Perusahaan ini mengatakan akan berinvestasi dalam pengembangan kemasan yang lebih baik, yang juga berarti bahwa inisiatif tersebut mendorong mereka melakukan penghematan biaya.

Coca-Cola juga akan bereksperimen dengan teknik pengumpulan botol yang berbeda dalam rangka mendaur ulang produknya. Termasuk mendukung usaha pemerintah dan industri dalam membangun jaringan “pemulung” di beberapa pasar.

Tidak hanya di Indonesia, masalah sampah juga terjadi di Benua Biru. Eropa memproduksi 25 juta ton limbah plastik setiap tahunnya, yang mana dua pertiga-nya berasal dari produk kemasan. Di Inggris saja, jumlah plastik sekali pakai yang dibuang setiap tahun bisa memadati Royal Albert Hall mencapai seribu kali lipat.

Sejumlah pemimpin dunia telah melakukan intervensi terhadap masalah sampah. Uni Eropa menyerukan agar semua kemasan di dalam kawasan dapat didaur ulang pada tahun 2030. Sementara Perdana Menteri Inggris Theresa May berjanji menghilangkan sampah plastik hingga akhir tahun 2042.

Produsen minuman bersoda terbesar di dunia ini pun menetapkan target yang ambisius, sebab rekan-rekannya di industri konsumer tengah bergerak ke isu yang sama; mengatasi masalah plastik.

McDonald’s  misalnya yang berkomitmen membuat semua kemasannya berasal dari sumber yang dapat diperbarui pada tahun 2025. Minuman kemasan Evian milik Danone juga berjanji untuk membuat semua botol plastiknya dari plastik daur ulang pada tahun 2025. Begitu pun dengan Unilever, Mars, PepsiCo, Marks and Spencer, dan Procter & Gamble yang juga membuat komitmen serupa.

Coke telah merestrukturisasi perusahaannya untuk fokus melakukan brand building ketimbang terlibat dalam bisnis pembotolan. Perusahaan menargetkan penghematan biaya sebesar US$ 3,8 miliar pada tahun 2019.

Related