Ditulis oleh Shilpi Sud, Associate Partner dan Arditra Luqman, Associate Quantum.
Dengan meningkatnya kesadaran lingkungan (eco-awareness) dan kenaikan signifikan dari harga minyak dunia, kendaraan listrik (KL) atau electric vehicle (EV) menjadi solusi yang logis untuk kendaraan sehari-hari. Namun, untuk masyarakat Indonesia, motivasi mereka untuk mengganti kendaraan konvensional menjadi kendaraan listrik hanyalah sebatas keuntungan ekonomis dan “gengsi”.
Saat ini, penggunaan KL sudah sangat didukung oleh pemerintah Indonesia, dukungan ini bukan hanya sebagai upaya untuk mengurangi polusi di kota-kota besar, tetapi juga merupakan bagian dari upaya negara Indonesia dalam membangun bisnis baru dan mendorong pertumbuhan ekonomi.
Saat ini, Indonesia sedang membangun pabrik-pabrik baterai KL menggunakan bahan baku yang 60% didapat dari kekayaan alam Indonesia.
Di sisi lain, Pemerintah Indonesia telah menggalakan berbagai upaya untuk mendorong pertumbuhan penggunaan KL, seperti; keringanan pajak dan insentif pajak untuk KL. Walaupun saat ini harga EV sebanding dengan kendaraan-kendaraan mewah, pajak yang dikenakan maksimal 10% dari nilai kendaraan tersebut, yang berarti pemilik EV membayar kurang dari Rp 1 juta pertahun untuk kendaraan senilai Rp 800 juta (setelah insentif).
Tidak hanya keringanan pajak, saat ini sedang dicanangkan untuk memberikan subsidi dalam pembelian KL, sebesar Rp 80 juta untuk mobil listrik, Rp 40 juta untuk mobil hybrid, dan Rp 8 juta untuk motor listrik. Bahkan, PLN (Perusahaan Listrik Negara), didorong untuk membangun lebih banyak stasiun pengisian daya di seluruh negeri.
Sayangnya, walaupun saat ini sudah lebih banyak stasiun pengisian daya di kota-kota besar Indonesia, masih banyak konsumen yang khawatir untuk menggunakan KL untuk perjalanan ke luar kota, khawatir ketidaktersediaan stasiun-stasiun pengisian daya. Akibatnya, konsumen merasa bahwa penggunaan KL idealnya untuk pemakaian di dalam kota saja.
Kurangnya informasi dan pengetahuan juga menjadi hambatan dalam pengadopsian KL, contohnya, banyak kekhawatiran seputar baterai dan sistim elektrik kendaraan dalam menghadapi banjir yang kerap melanda kota-kota besar di Indonesia.
Mengubah pendekatan pemasaran: mempromosikan nilai-nilai intangible
Menyadari persepsi dan pengetahuan konsumen saat ini, dapat dimengerti bahwa banyak konsumen yang merasa Indonesia belum siap untuk EV. Walau begitu, bukan berarti konsumen menolak EV, terlihat dari tingginya ketertarikan konsumen jika melihat media sosial.
Upaya dari pemerintah Indonesia dalam mendorong pertumbuhan EV bisa dilihat sebagai sinyal positif bahwa kendaraan-kendaraan ini akan menjadi lebih umum di masa depan. Hal ini dapat dijadikan sebagai sebuah undangan kepada produsen-produsen EV untuk berinvestasi dalam edukasi untuk menarik lebih banyak konsumen Indonesia dalam mengadopsi EV.
Biasanya, EV dipasarkan dengan menitik beratkan pada pilihan kendaraan yang “lebih hijau” (greener) dan lebih ekonomis. Sayangnya, kurang pengetahuan dan pengertian akan manfaat jangka panjang dari EV seperti: rendahnya biaya perawatan, rendahnya biaya harian dan pajak yang dikenakan. Kurangnya informasi dan pengetahuan membuat masih banyak konsumen yang skeptis terhadap EV di Indonesia.
Lantas muncul berbagai pertanyaan, seperti: Bagaimana cara produsen memasarkan EV dengan pendekatan berbeda? Apa cara lain untuk EV bisa dipasarkan di luar dari kelebihan nilai dan fungsinya? Apakah ada nilai-nilai tak terlihat (intangible) yang dimiliki EV dibandingkan dengan kendaraan-kendaraan berbahan bakar fosil?
Emotional benefit
Pada sebuah produk, sesuatu yang abstrak terkait dengan produk bisa menjadi sesuatu yang lebih penting daripada nilai fungsionalnya. Saat ini terjadi, kebutuhan akan fungsi utamanya pun akan tergantikan dan nilai abstrak atau emotional benefit ini dapat meningkatkan nilai produk tersebut.
Kita bisa berkaca dari kesuksesan para brand tas-tangan mewah. Dalam fungsinya, tas-tangan hanya memiliki beberapa fungsi, namun bisa dijual dengan harga yang sangat mahal hanya demi status, atau apresiasi terhadap desainnya, atau bahkan karena merupakan heritage.
Akan tetapi pendekatan tersebut berpotensi hanya akan menyasar kepada konsumen level premium, sehingga tidak dapat menyentuh konsumen menengah yang mungkin lebih cenderung menitikberatkan kepada nilai-nilai fungsional.
Jadi, bagaimana produsen otomotif dapat menciptakan nilai-nilai yang tak terukur (intangible) yang sepadan dengan nilai-nilai fungsional dari produk mereka?
Kendaraan listrik bukanlah penemuan terbaru, EV sudah diperkenalkan dari tahun 1800-an, sejak itu EV telah berupaya untuk menembus pasar dunia. Pada awal 1900-an, EV berupaya untuk menyasar konsumen perempuan dengan desain yang sleek dan tingkat kebisingan yang lebih rendah daripada kendaraan-kendaraan konvensional yang ada saat itu.
EV dipasarkan sebagai kendaraan mewah dengan positioning untuk pemberdayaan perempuan yang memiliki pemikiran progresif dan kepercayaan diri, mereka telah mencoba mengangkat nilai-nilai tak terukur (intangible).
Walaupun telah mencoba menggunakan penampilan unik estetik kendaraan sebagai nilai jual, bersama dengan nilai-nilai keprogresifan, hampir sama dengan kondisi saat ini, EV masih belum bisa bersaing dengan kendaraan berbahan bakar fosil konvensional karena konsumen masih memandang EV kurang praktis.
Mengungkap nilai-nilai tak terukur (intangible) dari KL yang sesuai untuk konsumen Indonesia
Masyarakat Indonesia adalah masyarakat kolektif. Perasaan menjadi bagian dari sebuah komunitas dan kebersamaan adalah dua nilai yang sangat memengaruhi komunitas. Kebutuhan untuk tervalidasi dan dapat persetujuan dari kumpulan sosial adalah hal yang sangat penting. Hal ini pun membuat mereka merasa sebagai bagian dari kumpulan tersebut.
Berangkat dari hal ini, KL harus mempertimbangkan cara-cara untuk dapat memenuhi kebutuhan agar tervalidasi dan disetujui oleh masyarakat kolektif.
Meskipun saat ini KL sudah dipromosikan dan diiklankan oleh banyak Key Opinion Leaders diberbagai media sosial, sayangnya, kebanyakan dari mereka lebih menitik beratkan pada nilai fungsinya saja. Nilai-nilai seperti eco-friendly, trendi, dan merupakan alternatif ekonomis yang pintar dibandingkan dengan kendaraan konvensional berbahan bakar fosil menjadi fokus komunikasi dari kebanyakan mereka.
Hal ini saja masih tidak cukup untuk menarik konsumen Indonesia karena adanya kekhawatiran akan aspek-aspek fungsional dan logistik dari kendaraan tersebut.
Ide-ide, seperti apakah yang bisa meningkatkan relevansi, memberikan kepuasan emosional masyarakat Indonesia dengan KL dan menimbulkan kebutuhan untuk beralih menggunakan KL, juga dapat memberikan validasi sosial dan membuat brand menjadi diakui?
Berikut beberapa aspek komunikasi yang dapat digunakan:
Orang-orang dengan kelas istimewa
Kelebihan dan manfaat yang diberikan oleh pemerintah akan terus bertambah seiring dengan produksi baterai KL dalam negeri.
Saat ini, ada beberapa insentif yang diberikan untuk KL, mulai dari peraturan Ganjil-genap di Ibu Kota Jakarta tidak berlaku untuk kendaraan EV, pajak rendah, tempat parkir khusus dan stasiun pengisian daya, ditambah dengan adanya rencana subsidi pembelian KL. Semua ini akan memberikan status yang unik dan berbeda kepada sekelompok orang-orang istimewa, yang membedakan mereka dari pengguna kendaraan-kendaraan berbahan bakar fosil konvensional.
Sustainable dan ringan di dompet
Namun, masih dibutuhkan edukasi lebih lanjut agar kesadaran ini bisa memberikan dampak positif yang lebih besar.
Produsen EV bisa memasarkan produknhya dengan cara menarik perasaan kita. Contohnya, dengan memasarkan kendaraan listrik sebagai pilihan orang pintar yang tidak hanya peduli tentang masalah lingkungan hidup, tetapi juga membuat keputusan ekonomi yang baik.
Alhasil, akan ada perasaan tervalidasi yang didapatkan dari masyarakat sekitar. Sebagai individu, konsumen KL juga akan merasakan bahwa tidak hanya mereka telah melakukan sesutau yang berarti dalam Gerakan Hijau (green movement), mereka juga mendapatkan keuntungan finansial dari KL.
Tidak lagi khawatir akan harga bensin
Harga bahan bakar fosil yang terus meningkat, kerap kali menimbulkan kekhawatiran finansial untuk para pemilik kendaraan. Hal ini meningkatkan keinginan konsumen untuk mencari solusi alternatif.
Dengan menggunakan EV, semua kekhawatiran ini akan hilang. Biaya pengisian daya dengan listrik jauh lebih murah daripada harga bensin, dan seiring dengan bertumbuhnya penggunaan kendaraan umum listrik, stasiun pengisian daya akan terus bertambah dan ini pun akan mendorong orang-orang lain untuk beralih ke EV.
Menjadi trendsetter
Orang Indonesia jarang ingin terlihat berbeda atau menonjol di dalam komunitasnya. Namun lain artinya apabila mereka dianggap terpandang atau menjadi anutan. Menjadi orang yang dipandang berpengetahuan dan memiliki pemikiran maju, dapat memberikan status tersendiri dalam komunitas tempat mereka berada.
Untuk menjadi yang pertama dan menjadi sumber informasi yang terpercaya, sering kali menjadi sesuatu yang diinginkan oleh mereka, dan hal ini bisa menjadi motivasi yang dibutuhkan oleh konsumen,
Dengan memandang ke masa depan, kita bisa menilik bahwa Indonesia adalah pasar yang sangat menjanjikan untuk disasar oleh produsen kendaraan listrik, tidak hanya karena potensi yang besar, namun juga karena adanya dukungan dari pemerintah Indonesia.
Kesimbangan manfaat dan nilai antara nilai-nilai fungsional dan emosional, nilai-nilai terukur (tangible) dan tak terukur (intangible), adalah hal yang sangat penting sehingga produsen kendaraan listrik dapat memenangkan tidak hanya pikiran, tetapi juga hati dari konsumen Indonesia.
Editor: Muhammad Perkasa Al Hafiz