Pemerintah terus berupaya menurunkan emisi gas karbon untuk mengejar target net zero emission 2060. Upaya ini salah satunya dilakukan dengan cara perdagangan karbon dengan negara-negara lain.
Bahlil Lahadalia, Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), dalam forum B20 Summit yang merupakan side event Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Presidensi G20 mengkritisi adanya ketimpangan harga karbon negara maju dengan negara berkembang. Dia juga menilai aliran investasi hijau yang masuk ke negara berkembang hanya satu per lima dari total nilai investasi di seluruh dunia.
BACA JUGA: Tarik Investor Prancis, Bahlil Lahadalia Ingatkan soal Mitra Lokal
“Sudah saatnya kita tidak memakai standar ganda. Pemerintah bisa membuat keputusan, tetapi yang mengimplementasikan adalah dunia usaha. Peran dunia usaha dalam B20 menjadi instrumen terpenting dalam usaha kita menuju net zero emission 2060,” kata Bahlil melalui keterangannya, Senin (14/11/2022).
Menurutnya, harga karbon negara maju saat ini dibanderol sebesar US$ 100 per ton. Sementara itu, di negara berkembang hanya dihargai US$ 15 hingga US$ 20 per ton.
BACA JUGA: Bahlil Tawarkan Kerja Sama Perdagangan Karbon dengan Inggris
“Ini harus menjadi perenungan kita bersama. Karena saya yakin kita harus berdiri sama tinggi, duduk sama rendah untuk kesejahteraan bersama seluruh wilayah di dunia,” ujarnya.
Bahlil juga menyampaikan salah satu keputusan tingkat Menteri negara G20 yaitu Bali Kompendium. Dalam ajang tersebut, merupakan sebuah konsep yang dibangun untuk memberikan kebebasan kepada masing-masing negara dalam menyusun arah kebijakan investasinya dengan menghargai keunggulan komparatif masing-masing negara.
“Saya pikir sudah saatnya antara negara-negara G20 tidak boleh ada yang merasa lebih berhak dan lebih merdeka daripada negara lain karena kita semuanya sama. Sekali lagi, duduk sama rendah, berdiri sama tinggi untuk berkolaborasi dalam mewujudkan cita-cita mulia untuk kesejahteraan bersama,” tuturnya.
Sebagai informasi, berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Indonesia berpotensi mendapatkan pendapatan sebesar US$ 565,9 miliar melalui perdagangan karbon. Untuk menangkap peluang tersebut, penyelenggaraan bursa karbon tengah disiapkan untuk menetapkan harga.
Adapun perdagangan karbon merupakan upaya pemerintah di seluruh negara untuk mengatasi perubahan iklim. Dengan demikian, permintaan diperkirakan terus melonjak.
Indonesia bisa menjadi salah satu negara penguasa pasar perdagangan karbon lantaran melimpahnya hutan tropis yang tersedia. Hingga sekarang setidaknya ada 123 juta hektare (ha) hutan tropis di seluruh Indonesia.
Dari luas hutan itu, diperkirakan mampu menyerap 25 miliar ton karbon. Angkanya semakin meroket apabila ditambah dengan luas lahan gambut dan mangrove.
Editor: Ranto Rajagukguk