Lantunan musik ballet mengiringi langkah demi langkah para model melaju di panggung runway. Gaun pengantin beraksen lace dan mutiara ini berhasil membius pandangan penonton yang hadir di Atrium 23 Paskal Shopping Centre, Bandung. Lekuk tubuh sang model nampak sesuai dengan gaun yang dirangkai dengan gaya siluet A-line hingga mermaid.
Peragaan busana tersebut berjalan mulus, hingga akhirnya “insiden” terjadi di tengah-tengah acara. Dari balik panggung, sang desainer bersama asistennya tiba-tiba datang menghampiri salah satu model. Mereka melepas bagian dari gaun pengantin yang dikenakan model itu.
“Ah, salah kostum kah? Tapi kok model yang lain masih catwalk ya?,” bisik salah satu penonton.
Setelah desainer memperbaiki kostum salah satu model, ia kemudian beralih ke model berikutnya. Belakangan diketahui bahwa sang desainer sengaja mengutak-atik gaun di panggung untuk menunjukkan konsep multi-look yang diusungnya.
Berkat intrik mengejutkan tersebut, peragaan busana bertajuk Esperanza besutan desainer Bramanta Wijaja ini mendapat tepuk tangan riuh dari penonton dan pengunjung mal yang menyaksikan.
Desainer asal Semarang ini seolah memberikan wow factor pada malam penutupan acara 23 Fashion District, sebuah event peragaan busana yang berlangsung selama tiga hari sejak 12 Mei lalu.
“Ya, saya sengaja melakukan aksi itu untuk memberi informasi bahwa gaun yang saya kreasikan kali ini berkonsep convertible dress,” ujar Bramana saat Marketeers temui paska acara berakhir.
Ia menjelaskan, convertible dress adalah gaun pengantin yang beberapa bagiannya bisa di lepas-pasang dengan mudah, sehingga menciptakan tampilan dan kesan yang berbeda. Ia mengaku menciptakan gaya ini setelah mendengar feedback dari para customer-nya yang merupakan calon pengantin perempuan.
“Convertible dress membuat pengantin perempuan dapat tampil anggun pada acara akad nikah atau pemberkatan. Di sisi lain, bisa berdansa pada malam pernikahan,” ujar dia.
Konsep bongkar-pasang baju pengantin, sambung Bramanta, juga menjadi salah satu solusi atas kondisi ekonomi yang fragile saat ini. Pasangan pengantin dituntut untuk lebih efisien dalam mengatur biaya pernikahan, termasuk ketika membeli atau menyewa baju pengantin.
Ia menuturkan, sudah saatnya pasangan pengantin kembali menyadari esensi sebuah pernikahan yang terletak bukan dari kemegahan pesta, melainkan pada pernikahan itu.
Seorang pengantin harus bersinar ketika hari bahagianya tiba. Menurut Bramanta, jangan jadikan baju pengantin mengambilalih pandangan orang dan malah melupakan sosok pengantin. “Biarkan pengantin yang mengenakan gaun, bukan gaun yang mengenakan pengantin,” cetus Bramanta.
Untuk koleksinya ini, Bramana membanderol gaun pengantinnya mulai dari Rp 40 juta. Ia bilang, satu gaun dapat menciptakan empat hingga lima tampilan yang berbeda.
Tantangan desainer
Bramanta mengatakan, tantangan terberat desainer gaun pengantin terletak pada cara desainer mengerti kebutuhan pelangannya. Menurut dia, gaun pengantin bukanlah pakaian siap pakai, sehingga harus dibuat secara personal mengikuti selera dan ekspektasi pengantin.
“Namun dalam praktiknya, banyak calon pengantin yaitu calon suami dan isteri saling berbeda misi. Apalagi, keluarga masih cukup dominan dalam menentukan pesta pernikahan. Hal-hal itu menyulitkan desainer,” katanya.
Kendati demikian, ia melihat kecenderungan pasangan muda saat ini untuk menikah dengan gaya yang lebih sederhana. Mereka mulai menghindari gaun-gaun yang bervolume, dan lebih memilih gaun yang nyaman ketika dikenakan.
Karena itu, sambung dia, desainer sudah harus memperhatikan demand tersebut, dan mulai meninggalkan pakem pernikahan kuno sebagai sebuah aktivitas mewah dan menguras biaya.
Desainer gaun pernikahan seperti yang dilakoni Bramanta hanyalah salah satu bagian yang berperan dalam industri pernikahan. Catatan platform Bridestory menyebut bahwa nilai pasar wedding di Indonesia pada tahun 2016 mencapai US$ 7 miliar.
Masih berdasarkan survei yang sama, setiap tahun terdapat dua juta pasangan menikah di Indonesia, di mana 52,6% dari mereka menyatakan bersedia membiayai penuh total buujet pernikahan.
“Pernikahan sejatinya bisnis yang tak pernah mati, meskipun kondisi ekonomi sedang sulit. Sebab, orang pasti akan menikah,” ujar Bramanta.
Ali Charisma, Ketua Indonesia Fashion Chamber (IFC) mengatakan, selain bridal, pasar bisnis fesyen yang menunjukkan pertumbuhan signifikan adalah busana muslim. Tren ini, kata Ali, dipengaruhi oleh semakin banyaknya perempuan mengenakan hijab.
Ia bertutur, dulu kebutuhan fesyen muslim banyak ditunjang oleh penjual baju-baju habaya dan gamis dari berbagai pasar di Tanah Abang dan Thamrin City. Jarang desainer mode yang berani masuk ke pasar tersebut.
Namun, saat ini, sudah cukup banyak desainer yang khusus menggarap fesyen muslim. Bahkan, desainer yang tidak menggarap fesyen muslim, mulai melirik ceruk di bisnis tersebut.
“Mereka mulai membuat pakaian-pakaian yang muslim friendly. Misalnya, yang tadinya baju lengan buntung, sekarang baju berlengan panjang. Sehingga, umat muslim bisa mengenakannya,” pungkas Ali.
Hanya saja, kata dia, tantangan penggiat mode muslim adalah menciptakan karya busana bersifat ready-to-wear atau siap pakai, bukan sekadar kreasi artistik.
“Konsumen mulai mencari pakaian yang bisa dan mudah dikenakan sehari-hari, bukan pakaian dengan pola-pola yang ribet,” tambah dia.
Sebagai ketua dari organisasi yang menaungi ratusan desainer seNusantara, Ali mengimbau para desainer untuk menggunakan platform online sebagai kanal penjualan. Selain itu, mereka juga harus melakukan kolaborasi dengan para pemilik ritel dan pusat belanja.
Ia bilang, apabila desainer tak punya modal besar untuk menyewa lahan ritel di mal, ia bisa memamerkan karyanya itu lewat pop-up store yang kerap ditawarkan mal.
Ia menyebut, kolaborasi IFC dengan 23 Paskal adalah salah satu bukti industri fesyen dan pusat belanja bisa bersama-sama membantu meningkatkan awareness desainer fesyen nusantara. Meskipun, di satu sisi, Ali mengakui bahwa mayoritas pusat belanja menawarkan produk fesyen bermerek asing.
Semakin banyak desainer berkarya dan sukses mendulang rupiah di tanah sendiri, semakin tinggi kontribusi yang diberikannya kepada negeri. Berdasarkan data BPS tahun 2015, kontribusi industri fesyen terhadap PDB nasional sebesar 1,21%. Industri ini juga dianggap sebagai sektor padat karya yang menyerap tenaga kerja sekira dua juta orang.