Dunia makin digital. Demikian juga kehidupan pelanggan. Tantangan yang harus dijawab oleh pemasar adalah memahami apa yang menjadi anxiety dan desire mereka. Hal ini disampaikan oleh Pakar Pemasaran Hermawan Kartajaya di WOW Brand Festive Day 2017 di Ballroom Raffles Hotel, Jakarta, Kamis (9/3/2017).
Pemasar, sambung Hermawan, harus bisa memahami customer journey di era digital. Yang patut diperhatikan, pelanggan sekarang hidup di era Marketing 4.0, pendekatan pemasaran yang mengintegrasikan interaksi online dan offline.
“Meski ada Marketing 4.0, bukan berarti Marketing 3.0 ditinggalkan. Justru, Marketing 3.0 menjadi landasan praktik marketing di era digital ini yang mana marketing harus mengusung nilai-nilai dan human spirit. Marketing harus jujur,” ujar Hermawan.
Hermawan menambahkan, buku Marketing 4.0 menguraikan transisi dari era tradisional ke digital. Namun, secara spesifik didedikasikan untuk tech for good. “Teknologi itu bisa dimanfaatkan untuk kebaikan, tapi juga kejahatan. Di buku ini, diajarkan bagaimana teknologi digunakan untuk kebaikan, termasuk dalam aktivitas pemasarannya,” katanya.
Sebab itu, sambung Hermawan, sebuah korporasi tidak boleh sekali-kali meniru orang politik yang menggunakan Cyber Army. Political Marketing dilakukan untuk mencapai tujuan jangka pendek, yaitu memenangkan sebuah Pilkada atau Pemilu.
Tapi, korporasi harus mencapai tujuan jangka panjang, yang tidak boleh tercederai oleh tujuan jangka pendek. Karenanya, korporasi perlu punya seorang Content Creator yang harus bisa menimbulkan dampak positif jangka panjang.
Hermawan menegaskan, content is the King dan bukan hanya frekuensi dan media yang digunakan. Inti dari Content Creation yang pas adalah pengetahuan marketeer terhadap anxiety and desire dari audiens yang dituju.
Kenapa Film Warkop DKI Reborn, Ada Apa dengan Cinta 2 (AADC2), dan My Stupid Boss bisa sukses besar pada tahun 2016 di Indonesia? Hermawan mengatakan karena orang Indonesia memang suka “Laugh and Love”. Tidak terlalu mikirin ekonomi yang lagi sulit pada tahun lalu. Yang penting masih bisa ketawa ketiwi dan baper.
“Lantas kenapa Cek Toko Sebelah yang dimulai pada akhir tahun lalu jadi film paling sukses sampai sekarang pada tahun 2017 ini? Ternyata pluralisme yang berdasarkan Bhinneka Tunggal Ika adalah desire orang Indonesia ketika ada gejala divided,” kata Hermawan.
Sebaliknya , pada tahun 2017, ternyata ada banyak sosialita perempuan kita yang pergi ke Singapura hanya untuk nonton Fifty Shades Darker. Bisa jadi, perilaku seksual menyimpang itu jadi “secret desire” dari audiens tersebut.
“Jadi kesimpulannya? Apa pun konten yang akan dibuat haruslah menjawab anxiety and desire audiens. Walaupun sangat sulit menemukan hal tersebut karena audiens biasanya tidak mau menampakkannya secara jelas. Bisa karena malu, jaga gengsi, tidak terbuka dan sebagainya,” katanya.