Bayangkan saja, suatu ketika Anda sedang menonton sebuah program televisi. Anda tertarik pada sebuah iklan smartphone yang menawarkan fitur kamera yang diklaim paling unggul untuk selfie. Karena tertarik, Anda kemudian mencari ulasan tentang gawai tersebut melalui smartphone yang ada di genggaman. Anda mendapatkan ulasan-ulasan yang bagus dan menguatkan niat Anda untuk membeli produk itu.
Lalu, Anda mencoba melihat produk dan mencari tahu hal seputar produk di toko. Dan, Anda merasa keputusan untuk membeli produk itu merupakan keputusan terbaik. Kemudian Anda meluncur ke website e-commerce untuk mendapatkan harga terbaik. Dus, tanpa lama, produk Anda dikirimkan ke alamat Anda.
Bayangkan juga skenario kedua. Suatu saat, Anda tertarik dengan produk kamera mirroless yang tayang di iklan baner di sebuah website. Lalu, Anda mencari informasi seputar produk tersebut di media sosial melalui smartphone Anda. Media sosial mengarahkan Anda ke sebuah website yang mengulas produk tersebut lebih dalam. Usai melakukan perbandingan, Anda akhirnya merasa produk itu yang terbaik di pasar. Kemudian Anda pergi ke toko yang menjual kamera tersebut dan membelinya.
Skenario pertama, seperti mengacu pada buku “Marketing 4.0 Moving from Traditional to Digital” (Wiley, 2017), disebut dengan showrooming. Sedangkan skenario kedua disebut dengan webrooming. Keduanya merupakan skenario pembelian di era digital pada umumnya. Keduanya menandakan bahwa customer path di era sekarang tidak lepas dari kanal offline dan online – pelanggan pindah dari satu kanal ke kanal yang lain, baik online maupun offline.
Sebab itu, pemasar di era ini harus menyadari seluruh titik-titik perjalanan pelanggan tersebut. Di titik-titik itulah, pemasar bisa mengoptimalkan layanannya. Jangan sampai ketika sampai di sebuah titik, pelanggan merasa kecewa karena ia tak menemukan produk atau tak berhasil melakukan pembelian karena sistem transaksi sedang error dan pada akhirnya batal melakukan pembelian.
Di sinilah, peran omnichannel marketing sangat besar. Pada dasarnya, omnichannel marketing merupakan pendekatan pemasaran yang mengintegrasikan banyak kanal untuk menciptakan pengalaman pelanggan secara efektif sekaligus konsisten.
Bangun Brand Commitment
Online tidak akan menggantikan offline. Justru keduanya harus diintegrasikan untuk membangun pengalaman pelanggan yang lebih baik lagi. Pengalaman baik tersebut akan menumbuhkan apa yang disebutkan brand commitment di pelanggan.
Saat ini, banyak situs-situs e-commerce membuka toko secara fisik – entah sebagai pop-up store maupun toko biasa. Di Indonesia, ada JakartaNoteBook dan Bhinneka.com yang jualan secara online sekaligus memiliki toko jual beli secara offline. Amazon, peritel online global, juga melakukan yang sama dengan membuka toko fisiknya di Seattle.
Terkait omnichannel marketing, ada tiga tren besar yang harus dipahami oleh pemasar seperti dikutip dari buku Marketing 4.0 tersebut.
Tren #1 Mobile commerce di era “now” economy
Hidup pelanggan saat ini didominasi oleh interaksi mobile. Konektivitas mendorong kebutuhan pelanggan yang sesegera mungkin dipenuhi. Saat pelanggan ingin membeli sesuatu, saat itu juga mereka bisa membelinya. Inilah yang disebut dengan “now” economy atau real-time marketplace.
Uber, Airbnbs, Go-Jek, Grab, Traveloka merupakan contoh real-time marketplace tersebut. Di tren ini, peran perangkat bergerak seperti smartphone memainkan peran besar. Asal tahu saja, 30% dari total e-commerce tahun 2015 merupakan mobile commerce (Sumber: Internet Retailer). Bahkan, BMW UK saat ini memungkinkan pelanggan membeli mobil melalui smartphone mereka dengan proses tak lebih dari sepuluh menit.
Tren #2 Bawa webrooming ke kanal-kanal offline
Pada umumnya, webrooming di sini tak lain membawa pengalaman online ke toko offline. Ada konektivitas machine-to-machine yang memudahkan pelanggan melakukan transaksi di toko offline.
Teknologi sensor, seperti beacon, Near Field Communication (NFC), Bluetooth, Radio Frequency Identification (RFID) merupakan contoh teknologi yang mengusung pengalaman machine-to-machine di dalam toko. Kita mungkin pernah bersentuhan dengan teknologi tersebut. Di kasir, misalnya, kita bisa membeli produk hanya dengan menempelkan smartphone kita dengan mesin sensor di sana. Kita pernah ditawari program promosi sebuah restoran saat kita memasuki sebuah area mal.
Toko fesyen Burberry menggunakan RFID untuk ruang gantinya. Setiap busana disemati dengan RFID. Ini memungkinkan pelanggan melihat video detail produk yang sedang dipegangnya. Casino, supermarket di Prancis, menggunakan NFC yang memungkinkan pelanggan bisa menempelkan smartphone mereka pada mesin sensor untuk mengetahui detail produk atau ulasan produk atau bahkan melakukan pembelian saat itu juga.
Teknologi digital di dalam toko ini diklaim mampu memberi pengalaman yang baik yang mendukung komitmen mereka membeli produk.
Tren #3 Hadirkan showrooming ke dalam kanal online
Di era digital, pelanggan cenderung ingin membeli produk secara cepat dan instan. Sebab itu, banyak peritel yang memperkuat online untuk menjawab kebutuhan tersebut. Namun, asal tahu saja, kanal online tidak akan seratus persen menggantikan kanal offline.
Mengapa kanal offline penting? Di sini, pelanggan bisa menggunakan lima panca indera mereka untuk merasakan produk dan layanan sebelum berkomitmen untuk membeli. Pelanggan biasanya ingin sentuhan human-to-human yang mana ini sering terjadi di toko offline.
Tesco di Korea Selatan menjadi contoh paling aktual. Toko bahan makanan ini menjawab kebutuhan orang kantoran yang supersibuk di sana. Tesco membikin toko virtual lengkap dengan visual rak-rak produk layaknya toko biasa di tempat-tempat publik, seperti di stasiun kereta. Pelangan yang sibuk tersebut bisa belanja melalui smartphone mereka sembari menunggu kereta dengan memindai produk melalui aplikasi Homeplus. Produk tersebut kemudian dikirimkan oleh Tesco dan terkirim saat pelanggan tersebut sampai di rumah mereka.
IKEA menjadi contoh lain lagi. IKEA memanfaatkan teknologi augmented reality dan katalog cetak untuk memudahkan pelanggan melihat gambaran produk yang paling cocok untuk rumah mereka. Dengan ini, pelanggan bisa melakukan simulasi secara virtual.
Akhirnya, integrasi online dan offline menjadi kunci suksesnya omnichannel marketing yang artinya pemasar mampu merespons setiap titik customer path saat ini.
Bagaimana dengan merek Anda? Ikuti terus serial Marketing 4.0 di laman www.marketeers.com.
Informasi:
Bagi Anda yang ingin membeli bukunya, silakan belanja di tautan berikut ini: Marketing 4.0