Banjir Impor, Pengusaha Tekstil Lokal Sulit Jual 1,5 Juta Meter Bahan
Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) melaporkan saat ini industri tekstil nasional dalam kondisi kritis lantaran membanjirnya produk impor dari Cina. Mayoritas produk tersebut dijual dengan harga murah sehingga produk lokal kalah bersaing.
Ketua Umum API Jemmy Kartiwa Sastraatmaja mengatakan saat ini perdagangan global memang sedang tidak baik-baik saja. Cina yang merupakan produsen atau manufaktur besar dunia, banyak barangnya yang tak terserap di negara-negara besar, seperti di Amerika Serikat (AS) dan Uni Eropa sehingga mereka berusaha mencari pasar baru yang trade barrier-nya lemah.
BACA JUGA: Order Turun 51%, Industri Tekstil PHK 79.316 Pekerja
“Jangan sampai Indonesia hanya dijadikan market, karena Indonesia merupakan negara dengan populasi terbesar nomor empat dunia. Produk domestik bruto kita masih lebih baik dan inflasi Indonesia cukup terkontrol dibanding negara lain. Tak heran Indonesia dibidik menjadi salah satu pangsa pasar. Jika tidak pintar-pintar memasang trade barrier, ekosistem ini akan hancur berimbas ke hulu,” kata Jemmy melalui keterangannya, Senin (25/9/2023).
Hal senada diungkapkan pula oleh Dudi Gumilar, pemilik PT Santosa Kurnia Jaya yang merupakan usaha mikro, kecil, dan menengah (UKM) produk tekstil di Jawa Barat. Semua pelaku UKM tekstil sudah memproduksi sesuai dengan permintaan pasar, tetapi akhir-akhir ini marak impor barang-barang tersebut membuat bahan menumpuk.
BACA JUGA: Tantangan Industri Tekstil: Rantai Pasok dan Investasi Dari Mancanegara
“Kami kesulitan menjual hampir 1,5 juta meter bahan menumpuk di pabrik sementara produksi masih berjalan. Kami juga tidak tahu sampai kapan masih bisa produksi, mohon bantuan untuk perlindungan pasar,” kata Dudi.
Adanya serangan impor yang harganya di bawah pasar, mendorong rendahnya permintaan termasuk yang terjadi di Tanah Abang, Jakarta Pusat. Imbasnya terjadi penurunan produksi bukan cuma satu atau dua pabrik, bahkan ribuan pabrik.
Sementara itu, Kepala Dinas Koperasi dan UKM Provinsi Jabar Rachmat Taufik G menambahkan, angkatan kerja di Jabar mencapai 24 juta orang, sebesar 70% di antaranya bukan dari pekerja formal. Akibat banyak pabrik menurun kapasitas produksinya lantaran menurunnya daya beli, makin menambah ancaman pemutusan hubungan kerja atau PHK.
“PHK secara resmi kecil, tetapi dari data BPJS Ketenagakerjaan yang mengambil JHT artinya yang tak bekerja lagi mencapai lebih dari 150.000 orang,” ucap Rachmat.
Editor: Ranto Rajagukguk