PT Bank Mandiri (Persero) Tbk memperkirakan Bank Indonesia (BI) menahan suku bunga acuan di level 5,75% sepanjang tahun 2023. Namun, di sisi lain, bank sentral diharapkan tetap mewaspadai perkembangan ekonomi global yang masih dipenuhi ketidakpastian.
“Kami mengharapkan BI untuk menahan suku bunga acuan ke depan dengan tetap mewaspadai perkembangan kondisi ekonomi baik global maupun domestik,” ujar Faisal Rachman, Ekonom Bank Mandiri dalam keterangannya di Jakarta, Jumat (20/1/2023).
Sebagian besar bank sentral utama telah mengumumkan kenaikan suku bunga pada tahun 2023 tidak akan seagresif pada tahun 2022 di tengah meredanya inflasi global. Dia melihat kenaikan suku bunga global akan mencapai puncaknya pada akhir semester I 2023.
BACA JUGA: Tantangan Ekonomi 2023, Kenaikan Inflasi hingga Capital Outflow
Bank Sentral Amerika Serikat (AS) Federal Reserve (Fed) pada pertemuan Desember 2022 memproyeksikan suku bunga acuan meningkat sebesar 75 basis poin (bps) tahun ini, sementara pasar hanya mengharapkan peningkatan 25 bps dibanding peningkatan 425 bps pada tahun 2022.
The Fed lebih lanjut telah memberikan sinyal untuk penurunan suku bunga mulai tahun 2024. Sikap yang kurang hawkish ini telah mendorong aliran modal masuk ke pasar negara berkembang, termasuk Indonesia, khususnya pasar obligasi.
Meskipun aliran keluar terus-menerus terjadi di pasar saham pada Januari 2023 dibanding level akhir tahun sebelumnya (year-to-date/ytd) karena penurunan harga komoditas dan meningkatnya kekhawatiran akan perlambatan ekonomi global, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS berada dalam tren apresiasi yaitu menguat sekitar 3% (ytd).
BACA JUGA: Kembali Naik, Suku Bunga Acuan Bank Indonesia Jadi 5,50%
Selain itu, sektor eksternal Indonesia tetap tangguh didorong oleh neraca perdagangan 2022 yang mencatat surplus tertinggi sepanjang sejarah yakni US$ 54,46 miliar. Dengan demikian, dia memperkirakan neraca transaksi berjalan 2022 akan mengalami surplus sekitar 1,05% dari Produk Domestik Bruto (PDB).
Meski demikian pertumbuhan ekspor diproyeksikan menurun pada tahun 2023 karena merosotnya harga komoditas, yang didorong lesunya permintaan global di tengah pengetatan moneter global yang sedang berlangsung untuk melawan inflasi.
Sementara itu, pertumbuhan impor diperkirakan lebih tinggi dari pertumbuhan ekspor karena kemungkinan terdapat penguatan permintaan domestik, menyusul pencabutan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM), strategi hilirisasi industri, dan keputusan untuk melanjutkan Proyek Strategis Nasional (PSN).
“Kami memperkirakan neraca transaksi berjalan pada tahun 2023 akan berubah menjadi defisit yang dapat dikelola sekitar 1,1% dari PDB,” ucapnya.
Di sisi lain, Faisal masih memperkirakan inflasi domestik akan tetap berada di atas batas atas kisaran target 2% sampai 4%, setidaknya hingga semester pertama tahun 2023, di tengah dampak putaran kedua penyesuaian harga Bahan Bakar Minyak (BBM) terhadap barang dan jasa lainnya serta efek dasar yang rendah pada semester I 2022.
Dengan begitu, inflasi diperkirakan terus mereda pada paruh kedua menuju 3,60% pada akhir tahun 2023.