Banyak Orang Beli Smartphone Karena Ingin ‘Naik Kelas’

marketeers article
Smartphones in a shop. Buy smartphone. Telecommunication shop. Showcase with phones

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Google dan Canalys menunjukkan bahwa durasi seorang konsumen hingga akhirnya memutuskan untuk membeli smartphone terbaru bisa memakan waktu hingga 14 hari. Namun, hasil riset ini tidak semuanya diamini oleh para pelaku di industri.

Yang paling utama disoroti adalah permasalahan durasi pembelian yang mencapai waktu 14 hari. Menurut Djatmiko Wardoyo, Marketing & Communications Director Erajaya Group, durasi yang dibutuhkan terlalu lama. Bahkan, cenderung akan membuat konsumen menjadi tidak membeli sama sekali.

“Orang kalau menunggu hingga 14 hari malah tidak akan beli. Karena selama 14 hari tersebut sudah banyak produk baru yang diluncurkan di pasar,” terang pria yang akrab disapa dengan Koko.

Baginya saat ini justru setiap konsumen datang seharusnya langsung beli. Pasalnya sekarang ini sudah ada beragam promo dan skema pembayaran yang semakin banyak diterapkan. Di sisi lain, kebanyakan durasi promo dari para peritel tidak untuk waktu yang lama. Cenderung hanya pada durasi 7-10 hari.

Samsung mendukung pernyataan dari Erajaya Group. Sebagai produsen smartphone yang paling agresif sampai tengah tahun ini, Samsung berupaya untuk menyasar beragam segmen yang ada. Mulai dari segmen low, middle, hingga high.

Menurut Elvira Jakub Corporate Marketing Director Samsung Indonesia, saat ini konsumen Indonesia memiliki kecenderungan untuk naik kelas dengan smartphone yang digunakan. “Biasanya, konsumen membeli smartphone itu lebih banyak keinginan dibandingkan dengan kebutuhannya. Lebih impulsif,” ujar Elvira.

Ia mencontohkan, ketika sedang melakukan kampanye pre-order untuk produk flagship di atas Rp 10 juta, banyak konsumen yang sudah siap di depan layar kaca untuk klik dan membeli. Ia menggarisbawahi bahwa saat ini konsumen tidak hanya mencari perkara soal fitur kamera saja.

Koko setuju bahwa saat ini kebanyakan konsumen di Indonesia ingin bisa naik kelas melalui smartphone. Hal ini dibuktikan dengan average selling price di Erajaya Group yang naik menjadi Rp 3,3 juta. “Saat ini, banyak program dari principal brand dan retailer yang membuka kesempatan buat semua orang untuk naik kelas.”

Selain skema pembayaran yang semakin mudah, salah satu yang paling diminati adalah skema trade-in. Samsung merupakan merek yang kerap kali melakukan kampanye trade-in di setiap peluncuran produk terbarunya, khususnya dari seri flagship. Dalam trade-in ini konsumen juga diberikan beragam benefit, seperti suvenir dan cashback.

Diakui oleh Elvira bahwa program ini semakin diminati oleh konsumen. Walapun kontribusinya masih kecil bila dibandingkan dengan program reguler, tapi pertumbuhannya luar biasa. Sebab itu, saat Ini program trade-in tidak hanya dilakukan pada event tertentu saja oleh Samsung. Namun, menghadirkan program trade-in secara langsung di 200 Samsung outlet.

Trade-in ini makin lama orang makin suka, karena smartphone-nya dinilai langsung hargnya,” imbuh Elvira.

Hal ini pula yang membuat Erajaya Group berani untuk terus berinvestasi dalam pengembangan gerai offline. Bagi Koko, saat ini penjualan offline masih mendominasi dibandingkan penjualan online. Tanpa membagi mana yang penting dan mana yang tidak, Erajaya memilih untuk mengembangkan keduanya.

Nanti akan berkembang menjadi pendekatan omni. Kami masih berani investasi di offline sebagai touch point. Konsumen bisa beli online ambilnya offline. Banyak orang yang datang ke toko tapi merek belum tau mau beli apa,” tutup Koko.

Editor: Sigit Kurniawa

Related