Beauty is Pain, Isn’t It?

marketeers article
Woman having a laser skin treatment in a skincare clinic, a resurfacing technique for wrinkles, scars and solar damage to the skin of her face

“Beauty is pain” menjadi istilah yang tak asing lagi ketika bicara soal kecantikan. Seperti hal yang lumrah, untuk menjadi cantik, tak jarang perempuan harus rela merasa sakit dalam upaya memperoleh apa yang mereka inginkan. Semisal, melakukan perawatan wajah dengan facial tradisional. Namun, seiring dengan perkembangan teknologi yang ada, transformasi perilaku dari konsumen kecantikan turut berubah. Berbagai inovasi metode perawatan bermunculan dan memungkinkan perempuan untuk sedikit demi sedikit meninggalkan tagline “beauty is pain”.

Jika sebelumnya facial tradisional menjadi perawatan yang paling populer, kini perempuan mulai beralih ke metode laser wajah. Pemain klinik kecantikan pun berbondong-bondong menginvestasikan modal mereka untuk memboyong teknologi laser terkini.

Tak murah, ZAP Clinic mengaku telah menyiapkan dana sebesar Rp 80 miliar untuk berinvestasi di teknologi laser. Sebanyak 125 teknologi laser baru dibeli ZAP untuk memenuhi kebutuhan pasar Indonesia akan tren perawatan menggunakan teknologi ini.

“Meski terbilang cukup mahal, teknologi laser bisa dimanfaatkan untuk berbagai macam persoalan. Misalnya, dari peralatan yang kami miliki sekarang mungkin baru 20% saja pemanfaatan yang kami lakukan. Mesin ini masih bisa difungsikan untuk berbagai macam kebutuhan dan memungkinkan untuk kami meluncurkan berbagai treatment baru melalui satu teknologi ini,” ungkap Fadly Sahab, Founder sekaligus CEO ZAP Clinic.

Keberanian para pemain untuk berinvestasi di lini ini bukan tanpa alasan. Pasalnya, tak hanya para milenial yang memilih perawatan laser, generasi X pun kini mulai memilih laser sebagai alternatif perawatan mereka.

ZAP Beauty Index, sebuah survei yang dilakukan ZAP bersama MarkPlus, Inc. kepada 17.889 responden di Indonesia sepanjang Mei-Juni 2018 menemukan, para perempuan kini memiliki preferensi perawatan yang berbeda dibandingkan lima tahun sebelumnya. Lima tahun lalu hanya 1,7% perempuan Indonesia yang melakukan perawatan kecantikan, meniruskan, dan mengencangkan wajah. Kini, presentasi itu meningkat menjadi 5,5%.

Lebih dari itu, kini perempuan Indonesia beralih ke perawatan laser wajah (36.0%) dan konsultasi dokter (35.5%). Berbeda dengan lima tahun lalu di mana facial tradisional masih begitu diminati (58.6%).

Lanny Juniarti, Founder and President Director of Miracle Aesthetic Clinic mengamati, perilaku konsumen di industri kecantikan saat ini cenderung menginginkan hasil yang cepat, waktu pemulihan yang singkat (no downtime), dan hasil yang natural.

“Ini bisa dijawab melalui teknologi laser. Teknologi laser untuk kecantikan sangat bermanfaat sebagai sarana untuk mengatasi berbagai problem estetik yang tidak dapat diatasi dengan metode yang lain. Teknologi kecantikan yang sedang menjadi tren antara lain teknologi ultrasound, yellow laser, dan masih banyak lagi,” ungkap Lanny.

Di Indonesia, Lanny mengatakan teknologi laser secara umum diimpor dari Eropa dan Korea Selatan. Teknologi laser saat ini lebih user friendly sehingga aman digunakan, baik bagi dokter sebagai operator maupun pasien. Sementara dari jenis teknologi laser yang banyak dipilih, Fadly mengatakan teknologi laser alma masih menjadi favorit.

Laporan dari Journal Health Care dan “Laser Therapy Market Research Report – Global Forecast till 2023” merilis, teknologi laser Alma merupakan salah satu dari tujuh teknologi laser terbaik di dunia. Tak heran, para pemain pun berlomba-lomba memboyong teknologi laser ini ke Indonesia.

Namun kembali lagi, meski sudah terbilang user friendly dan memberikan hasil menjanjikan, penggunaan laser untuk kecantikan harus dilakukan oleh para professional. Jika tidak, kesalahan dalam penggunaan laser masih mungkin terjadi yang dapat berdampak pada iritasi hingga pembengkakan.

Editor: Sigit Kurniawan

Related

award
SPSAwArDS