Beauty Vlogger dan Pengaruhnya Bagi Brand Kosmetik

marketeers article

Ada perubahan mendasar di dunia hiburan dalam beberapa dekade terakhir. Kita tak lagi tinggal di zaman di mana kemampuan acting dan debut di layar lebar menjadi prasayarat lahirnya selebriti terkenal.

Sebaliknya, kita kini hidup di dunia di mana individu dapat mempromosikan dirinya sendiri di media sosial dan platform berbagi video YouTube. Bak badai menerjang, bintang YouTube laksana selebriti masa kini.

Semua industri nampaknya mulai melirik bintang-bintang YouTube kenamaan atau kita sebut sebagai vlogger (video blogger). Banyak merek kecantikan yang semakin percaya akan kekuatan yang dimiliki vlogger dalam “menghinoptis” para audiensnya.

Cukup lazim apabila beauty vlogger mulai mendapat tempat di hati para merek kosmetik. Sebab, konsumen di era digital sudah jenuh dan cenderung tidak percaya akan pesan merek yang selama ini disampaikan melalui iklan televisi.

Perempuan kini mencari seseorang yang mampu berkata apa adanya, serta paham betul akan dunia kecantikan. Orang itu benar-benar yang dapat mereka ajak bicara. Semua karakter itu dapat ditemui pada sosok seorang beauty vlogger.

Patricia Husada, General Manager Marketing PT Martina Berto Tbk, produsen kosmetik Sariayu menuturkan, salah satu keunggulan merek kosmetik menggunakan beauty vloggers adalah mereka dapat mengedukasi mengenai kegunaan produk kepada target pasar yang disasar secara lebih jelas.

Vlogger membantu kami dalam memberikan tutorial makeup, atau bagaimana cara menggunakan produk-produk kami dengan benar,” ujarnya melalui sambungan telepon.

Keyakinan merek menggunakan vlogger bukan tanpa alasan. Pasalnya, 97% conversation mengenai dunia kecantikan di YouTube terjadi di kanal resmi para beauty vloggers atau content creators itu.

Mereka membuat video tutorial, memberikan tips & trick ber-makeup, hingga memberikan rekomendasi memilih makeup sesuai dengan tipe kulit konsumen. Sayangnya, hal-hal itu tak dapat dieksekusi oleh brand melalui iklan komersial selama 30 detik.

“Membuat konten yang bagus itu memang tidak mudah. Kami harus menyewa model, dan proses produksi memakan waktu yang lama,” kata Patricia.

Sementara itu, aktivitas vlogger sehari-hari adalah membuat video dan mengunggahnya di YouTube atau Instagram. “Sehingga, suara mereka menjadi lebih didengar. Artinya, lewat vlogger, brand menjadi lebih efektif untuk menyampaikan pesan kepada audiens,” paparnya.

Di jagad digital, brand bukan hanya sulit membuat konten yang otentik dan dianggap jujur. Melainkan, mereka juga mulai dihadang oleh software pemblokir iklan alias ads blocking.

Laporan situs PageFair tahun 2016 mengungkapkan bahwa setidaknya terdapat 419 juta orang dari 1,9 miliar pengguna smartphone di dunia yang melakukan pemblokiran iklan pada perangkat pintarnya.

Lebih lanjut, laporan itu menyatakan bahwa pemblokiran iklan pada perangkat mobile dua kali lebih banyak dibandingkan pemblokiran yang dilakukan pada desktop. Tak heran, target view dari konten yang dibuat brand selalu lebih rendah ketimbang konten yang diciptakan oleh bintang-bintang YouTube.

Karenanya, berkolaborasi dengan para beauty vlogger tidak hanya menciptakan konten yang lebih otentik, melainkan juga memberikan kesempatan kepada merek agar “iklan” mereka dilihat orang.

Merek kosmetik global L’Oréal cukup memperhatikan isu ini. Perusahaan ini mengaku merekrut banyak beauty vlogger untuk mengajaknya mengulas produk demi menghindari ad-banners berbayar yang dihapus atau di-skipp oleh audiens pengguna internet.

Jee Eun Shin, General Manager Consumer Product Division L’Oréal Indonesia kepada Marketeers mengatakan ads-blocking software memang menjadi ancaman para brand ketika beriklan di platform digital. Di sisi lain, brand juga mulai ditantang oleh seberapa lama video dilihat konsumen.

“Saat Anda menampilkan video berdurasi 15 detik, sebagian besar orang hanya melihat 2 detik. Lantas, apa yang bisa dikatakan dalam waktu sesingkat itu? Pada akhirnya, konten kreatif adalah tools yang harus kami ambil, baik itu gambar bergerak GIF ataupun video,” jawab Jee Eun.

Lantas, video apa yang pasti ditonton orang meski durasinya lebih dari 15 menit? Diakui atau tidak, video-video yang dibuat oleh Bintang YouTube, beauty vloggers, atau content creator mampu disaksikan oleh banyak orang, bahkan bisa berkali-kali.

Patricia mengatakan, beberapa video kreasi brand-nya dengan para vlogger mampu ditonton oleh orang hingga lebih dari lima kali. “Video tutorial hijab misalnya. Setiap kali perempuan ingin menggunakan hijab, mereka streaming tutorialnya dulu. Dan biasanya, mereka menonton video yang sama,” pungkasnya.

Jangan salah pilih vlogger

Salah satu kendala brand dalam memilih vlogger adalah perihal kesesuaian antara brand dengan vlogger. Jangan sampai produk yang di-endorse tak berkorelasi dengan segmen audiens dari para vlogger. Tak jarang, brand meminta analitik data serta performa konten yang dibuat para vlogger sebelum mengetuk palu kolaborasi.

Jee Eun mengatakan, tujuan dari brand menggunakan vlogger adalah untuk efisiensi. Apalagi, untuk satu kampanye saja, L’Oréal bisa menggunakan 100 hingga 200 vloggers. Dia bilang, efisiensi dapat tercapai apabila brand memahami karakteristik pengikut dari para video blogger itu.

“Beberapa vlogger bisa memiliki 300.000 pengikut, namun rendah dalam engagement. Di sisi lain, ada vlogger dengan hanya 100.000 pengikut, akan tetapi memiliki pengikut yang aktif memberikan komen dan bertanya-tanya seputar produk,” tuturnya.

Memang, semakin banyak followers, impression dan jumlah views yang dihasilkan biasanya akan semakin besar. Kendati demikian, kata Jee Eun, itu bukan jaminan. Sayangnya, beberapa brand kosmetik masih melihat jumlah follower sebagai katalis utama memilih vlogger.

Rachel Goddard, beauty vlogger yang aktif membuat video YouTube sejak Juni 2015 ini mengatakan, yang juga perlu diperhatikan brand ketika memilih vlogger adalah frekuensi vlogger mengunggah video. Menurut Rachel, keaktifan vlogger membuat konten mempengaruhi jumlah view.

“Percuma jumlah subscriber banyak, namun kalau jarang upload video, penontonnya akan sedikit,” tutur Rachel, beauty vlogger yang kerap memadukan unsur parodi dalam videonya.

Hal lainnya adalah brand sebisa mungin memilih vlogger yang family friendly. Rachel bealasan, dengan semakin mudanya penonton YouTube, content creator harus semakin bijak bertutur kata.

“Jangan pilih content creator yang berkata-kata surly (kasar_red). Sebab, anak sembilan tahun saja sudah lihat-lihat video makeup,” ungkap Rachel.

Di sisi lain, Lizzie Parra, vlogger ‘kawakan’ yang memulai karier YouTube-nya pada tahun 2011 ini berujar, dirinya tak ingin diatur-atur oleh brand saat proses pembuatan konten berlangsung, baik dari segi foto, caption, maupun gaya berbicara.

“Kalau brand meminta saya untuk berbahasa yang bukan saya, orang akan tahu bahwa itu fake. Konten vlogger memang harus genuine” tegas vlogger yang pada tahun 2016 lalu berhasil merintis merek kosmetiknya bernama BLP (By Lizzie Parra) ini.

Tak bisa dipungkiri, banyak brand yang ikut campur dalam urusan produksi konten. Sebab, brand ingin memastikan bahwa konten yang dibuat sesuai dengan brief dan story line yang telah disepakati keduabelah pihak.

Dari mulai brief hingga post production, waktu yang dibutuhkan sekitar dua hingga tiga minggu. Namun, untuk ulasan produk kosmetik atau tutorial makeup, konten bisa dibuat dalam tempo sehari.

Jee Eun menerangkan, kunci untuk memenangkan hati para vlogger adalah menjaga relasi yang baik dengan mereka. NYX, salah merek kosmetik dari L’Oréal bahkan menghadirkan studio profesional yang menyediakan peralatan dan studio bagi para vlogger yang ingin menciptakan konten berkualitas.

“Dan ini tidak hanya membuat vlogger mengetahui tren make up yang akan datang, akan tetapi kami juga menawarkan mereka kesempatan mengejar karir yang lebih cerah,” akunya.

Jee Eun kembali mengatakan konsumen saat ini memiliki kekuatan untuk memilih sesuatu yang bukan konten bermerek. Karenanya, ketika brand menggunakan vlogger, eksposur brand di video itu harus seimbang. Jangan sampai, konsumen dijejali logo brand dimana-mana.

Di sisi lain, vlogger pun semakin selektif dalam memilih partner mereka. Lizzie Parra mengaku hanya memilih merek yang sesuai dengan imej yang ia bangun. “Imej yang saya bangun adalah kalangan B hingga A. Jadi, produk yang saya endorse adalah produk yang disegmentasikan bagi kalangan itu,” terang perempuan ini.

Tentu ada harga yang mesti dibayar ketika memanfaatkan tangan kreatif para vlogger bersolek di depan kamera. Patricia menyebut, rata-rata harga emerging beauty vlogger berkisar Rp 1-3 juta per video.

“Untuk vlogger terkenal seperti Devina Aureel, harganya bisa Rp 20-40 juta, dengan durasi dua hingga empat menit,” cerita Patricia.

Bahkan, harga sebesar itu hanya dibayar brand apabila proses syuting dilakukan oleh brand. Jika sang vlogger yang melakukan produksi sendiri, harganya bahkan bisa menyentuh Rp 100 juta per video.

Meski merogoh kocek yang terbilang lumayan, Patricia mengaku cukup puas dengan efektivitas yang diraih dari para vlogger ini. Apalagi, vlogger dapat langsung membantu mencetak sales lebih cepat.

“Pengikut dari vlogger itu biasanya mau mengklik tautan ke situs e-commerce untuk langsung membeli produk yang baru mereka lihat,” kata dia.

Para vlogger bagaimana pun mewakili suara yang didengar oleh jutaan konsumen, khususnya millennials. Vlogger sejatinya adalah kumpulan orang yang menggunakan platform digital untuk menyuarakan pendapat mereka tentang banyak hal, entah itu otomotif, traveling, hingga soal kecantikan. Para millennials memilih mereka untuk memperoleh opini yang tulus dan jujur, bukan ungkapan manis yang manipulatif.

So, to make vlogging works for brands, the vlogger’s endorsement must be genuine.

Editor: Sigit Kurniawan

 

Related

award
SPSAwArDS