Dunia startup di Indonesia mulai memasuki fase 2.0, di mana startup mulai memperoleh pendanaan dengan nominal yang luar biasa dari perusahaan global. Nama-nama seperti Tokopedia, Go-Jek, dan Traveloka adalah contoh startup dalam negeri yang berhasil meningkatkan valuasinya melalui suntikan dana asing, khususnya China.
Investasi Tiongkok di dalam negeri memasuki babak baru di negeri ini. Kini, China mulai memainkan portofolio investasinya di perusahaan teknologi buatan tanah air. Investasi tersebut dipimpin oleh Tencent, Jing Dong, dan Alibaba yang menyalurkan dananya bahkan hingga Rp 14 triliun.
Adalah Alibaba Group Holding Ltd, perusahaan e-commerce terbesar China, bulan lalu yang secara terang-terangan mengumumkan suntikan modalnya kepada Tokopedia sebesar US$ 1,1 miliar, atau seara Rp 14 triliun.
Tak ayal, Tokopedia dan beberapa startup di atas disebut-sebut sebagai Unicorn versi Indonesia setidaknya sampai saat ini. Alasannya, ketiga perusahaan itu sudah mengempit dana lebih dari US$ 1 miliar atau sekira di atas Rp 10 triliun.
Pertanyaan pun muncul; Apakah dengan meraih dana ventura sebesar US$ 1 miliar, istilah Unicorn sudah mesti melekat kepada startup tersebut? Jika kita melihatnya hanya sebatas valuasi, tentu Unicorn versi Indonesia amatlah berbeda dengan Unicorn versi Amerika.
Nilai US$ 1 miliar di Indonesia itu teramat kecil untuk ukuran valuasi startup Unicorn Amerika, misalnya Uber yang pada tahun lalu saja berhasil mengumpulkan dana sebesar US$ 15 miliar yang membuat valuasinya mencapai US$ 68 miliar.
Artinya, jika startup hanya dihitung berdasarkan valuasi, istilah Unicorn pun menjadi relatif dilihat dari di mana startup itu berada. Lantas, adakah definisi Unicorn yang lebih mewakili semua teritori, tanpa terkecuali?
Reynazran Royono, Co-Founder & CEO Snapcart, startup analitik big data berdasarkan struk belanja ritel offline mengatakan, penamaan unicorn –dan juga cockroach– startup adalah penamaan yang dibuat untuk mengklasifikasikan startup yang bermunculan. Namun, ia meyakini bahwa istilah tersebut tidak ajeg.
“Bagi saya, yang penting adalah apa sih tujuan founder membuat startup itu? Apakah untuk memperoleh valuasi atau ada satu visi khusus untuk menciptakan disruption di industri?,” kata dia saat ditemui di kantornya di Gran Rubina, Komplek Rasuna, Jakarta Selatan.
Ia melanjutkan, “Startup yang berhasil mencapai visi dari pendirinya bisa dibilang dia mencapai versi Unicorn mereka, tanpa mesti melihat valuasi mereka saat ini,” katanya.
Dengan mengacu pada definisi tersebut, maka sejatinya startup haruslah bertahan untuk mencapai visi tersebut. Kemampuan bertahan tersebut diindikasikan oleh revenue yang selalu meningkat, cash-flow yang baik, serta pertumbuhan pengguna/klien. Sehingga, biaya operasional perusahaan bisa tertutupi dari laba yang dimiliki.
Namun, barometer di atas menjadi definisi dari cockroach startup alias startup-startup yang secara valuasi memang tidak sebesar “Unicorn”. Akan tetapi, mereka bisa menjalankan bisnis untuk mendapatkan profit serta mengurangi biaya seefisien mungkin.
Rey melihat, nama-nama besar seperti Tokopedia, Go-Jek, dan Traveloka bisa dikatakan sebagai unicorn versi Indonesia, apabila diukur berdasarkan valuasi yang mereka terima selama ini. Namun, di saat yang sama, the big three tersebut juga pantas disebut cockroach startup.
“Karena pada dasarnya, ketiganya masih bertahan sampai saat ini dan berkembang hingga sekarang,” kata Rey, yang juga mantan pendiri Berniaga.com, startup yang dibeli oleh OLX pada tahun 2014.
Jika definisi cockroach startup demikian, artinya banyak sekali perusahaan berkarakter “kecoa” di Indonesia. Perusahaan yang mampu bertahan selama generasi ke generasi, walau dengan skala bisnis yang segitu-segitu saja.
Kalau begitu, kata Rey, predikat cockroach startup juga cocok untuk Kecap Cap Inggris yang sudah bertahan hingga 50 tahun. “Kecap ini masih ada dan sering digunakan oleh para penjaja kuliner kaki lima. Mereka juga cockroach lho,” tutur dia.
Kendati demikian, ada satu hal yang bisa menjadi pembeda antara mereka yang cockroach dengan yang unicorn. Pendanaan modal yang tak banyak –bahkan masih ada menggunakan modal sendiri–, membuat burn rate mereka tak sama.
Burn rate adalah sejumlah pengeluaran kas per bulan dalam tahun-tahun awal permulaan usaha. Burn rate menjadi elemen yang penting karena startup pasti akan menghabiskan waktu dan uang untuk menghasilkan produk atau jasa sebelum memperoleh uang kas dari hasil penjualan produk atau jasa tersebut.
Ukuran burn rate akan sangat bervariatif, tergantung dengan modal yang dimiliki. Dan lazimnya, startup akan “membakar uang” entah untuk meningkatkan awareness atau mempertajam research & development, dari suntikan dana para modal ventura.
“Saat saya di Berniaga.com dulu, burn rate kami per bulan US$ 3 juta. Dan uang sebesar itu setara dengan dana pre-series A yang baru kami dapatkan,” ungkap Rey sekaligus menerangkan bahwa Snapcart pada Agustus tahun lali memperoleh pre-series A kedua dari Vickers Venture Partner dan SPH Holdings yang juga membekingi Snapcart sejak awal perusahaan ini berdiri pada tahun 2015.
Dengan definisi-definisi yang telah diberikan di atas, apakah Snapcart ingin bermimpi untuk menjadi unicorn atau tetap setia sebagai cockroach?
Rey mengakui, Snapcart memang bukan jenis startup yang menjadi incaran banyak modal ventura, seperti fintech, on-demand services atau e-commerce. Snarpcart adalah perusahaan analitik data “berkedok” cashback kepada pelanggan. Alih-alih konsumen toko kelontong mengunggah struk belanjanya di aplikasi Snapcart untuk memperoleh cashback, perusahaan ini justru menganalisa data penjualan yang tertera pada struk itu untuk diketahui oleh para principle atau brand.
“Hampir 99% transaksi groceries dilakukan secara offlline, namun tidak mudah memperoleh data real timemengenai pergerakan penjualan mereka, serta keterkaitan discount terhadap penjualan,” ungkap dia yang juga bilang bahwa data-data tersebut bisa didapat dari agensi riset semacam Nielsen dan Kantar, namun diperoleh brand dalam waktu yang lama.
Dengan mengantongi klien-klien perusahaan konsumer multinasional seperti Unilever dan P&G, Snapcart memiliki visi untuk ekspansi ke negara-negara di mana perusahaan multinasional itu beroperasi. “Jika sewaktu-waktu, klien kami membutuhkan kami berada di Amerika Latin, kami bisa saja membuka di sana.” Tutur dia.
Karena itu, sambungnya, investor atau modal ventura yang akan mendanai Snapcart harus mendukung visi tersebut, bahkan mempermudah akses ke pasar yang akan disasar.
“Itu visi kami yang membuat kami sebagai unicorn. Jika valuasi kami akan menjadi US$ 1 miliar, mungkin saja. Tapi bukan itu visi kami,” tegas lelaki lulusan Teknik Industri Institut Teknologi Bandung ini.
Editor: Saviq Bachdar