Gen Z dan Gen Y meski hanya terpaut satu generasi saja, tetapi nyatanya mereka berbeda. Fakta ini sangat penting bagi para Marketeers yang ingin menyasar Gen Z saat menggunakan konsep strategi pemasaran.
Iwan Setiawan, CEO Marketeers dalam program Analisis pada kanal YouTube Marketeers TV mengungkapkan banyak pemasar yang yang salah kaprah dalam menyusun strategi bagi para Gen Z.
“Banyak Marketeers salah kaprah karena merasa bahwa kalau mereka sudah punya millennials strategy maka mereka tinggal menggunakan strategi yang sama untuk menarget Gen Z. Padahal sebetulnya millennial (Gen Y) tidak sama dengan Gen Z,” ujarnya.
Kapan Gen Y dan Gen Z mulai mengenal internet?
Milenial yang sedikit lebih tua daripada Gen Z mulai mengenal internet pada saat remaja atau young adulthood. Mereka mengenalnya pada saat di sekolah atau di tempat kerja.
Berbeda dengan Gen Z yang dari masa anak-anak sudah mengenal internet, bahkan mungkin saat berusia masih lima tahun, sehingga cara pandang mereka terhadap internet jauh lebih berbeda dibanding Gen Y.
Bagi Gen Y, internet merupakan sebuah alat yang membantu mereka dalam bekerja dan belajar. Sementara itu, Gen Z memandang internet sebagai sebuah cara hidup, way of life, karena mereka tidak pernah mengetahui bagaimana cara menjalani hidup tanpa ada internet.
Dengan begitu, Gen Y selalu memandang online dan offline sebagai sesuatu yang terpisah yang mana terdapat clear separation di antara keduanya, sedangkan Gen Z melihatnya sebagai suatu kesatuan yang tidak terpisah.
“Gen Z melihatnya menyatu, tidak ada batasan antara online dan offline, sehingga kita sering melihat anak-anak Gen Z yang sangat muda biasanya bisa bermain game, ngumpul bareng, 5-10 orang di dalam ruangan yang sama, tapi tidak saling ngomong. Mereka berkomunikasi di dalam game tersebut. Meski secara fisik dekat, tapi berkomunikasi tetap secara online,” ujar Iwan.
Dari tiga fakta tersebut, jelas dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan perilaku antara Gen Y dan Gen Z yang perlu dipelajari lebih dalam oleh para Marketeers ketika memang ingin mendekati mereka melalui konsep strategi pemasaran.
BACA JUGA: 5 Tips Membuat Strategi Content Marketing, Bikin Audiens Pasti Melirik
Perbedaan perilaku Gen Y dan Gen Z
Pertama, Gen Y selalu ingin menampilkan “the best version of me”, sehingga sering kali jaim (jaga image). Misalnya saja di Instagram, Gen Y akan selalu menunjukkan kebahagiaan, kesempurnaan hidup, dan hal-hal baik yang mendatangi dirinya, meski harus menggunakan aplikasi editing.
Akan tetapi, berbeda dengan Gen Z yang lebih suka untuk menunjukkan dirinya otentik, sehingga mereka lebih apa adanya dalam membuat konten. Misalnya pada konten di TikTok yang cenderung original, personal, dan tidak diedit.
“Perilaku mereka memilih media sosial yang populer di kalangan masing-masing generasi itu di-drive bagaimana mereka ingin menampilkan diri mereka sendiri,” tuturnya.
Kedua, Gen Y selalu tertarik pada sesuatu yang mendorong sisi emosional atau feel good factor, sedangkan Gen Z lebih menyukai fungsinya secara rasional atau product utility.
Ketiga, bagi Gen Y kesuksesan diukur dari status sosial mereka, seperti kaya dan mapan secara ekonomi. Hal ini bertolak belakang dengan Gen Z yang memandang dirinya sukses jika mereka bahagia.
Hal tersebut berpengaruh pada tujuan hidup yang mana Gen Y lebih pada material possessions. Gen Y ingin punya barang sebanyak-banyaknya, punya rumah, mobil, dan barang-barang branded yang luxury.
Gen Z tidak demikian. Mereka lebih berfokus pada life experiences. Sesuatu yang menjadikannya lebih hidup melalui apa yang dialaminya, misalnya menonton konser dan traveling.
“Yang satu (Gen Y) beli aset, produk, atau barang, yang satunya lagi (Gen Z) justru menikmati services dan experience,” ucap Iwan.
Terakhir, Gen Y memiliki orientasi sosial yang mana mereka sangat peduli terhadap apa yang dipikirkan orang lain kepada mereka. Mereka sangat mendengarkan pendapat orang lain, sehingga Iwan menyebutnya sebagai conformist.
Gen Y lebih sering mendengarkan pendapat eksternal saat mengambil keputusan. Orientasi sosial para Gen Z jauh berbeda.
Mereka tidak terlalu peduli dengan pendapat eksternal atau non-conformist, sehingga mereka memiliki identitas sendiri yang dijaga kuat-kuat. Terbukti bukan bahwa perilaku Gen Y dan Gen Z sangat berbeda?
Jangan sampai Marketeers memahami mereka dengan salah karena konsep strategi pemasaran untuk millennial Anda sudah tidak berlaku lagi bagi gen Z.
“Dari berbagai variabel, Gen Y dan Gen Z sangat bertolak belakang 180 derajat. Maka dari itu, kita perlu untuk menciptakan strategi Gen Z yang baru,” tuturnya.
BACA JUGA: 6 Langkah Membuat Content Marketing Strategy, Jitu dan Tepat Sasaran!
Tips strategi pemasaran untuk Gen Z
Pertama, sebagai marketer Anda harus memahami terlebih dahulu bahwa Gen Z mengonsumsi internet dalam waktu yang sangat banyak dalam sehari. Rata-rata mereka memiliki time spent selama 8,5 jam sehari untuk konsumsi internet lintas device, baik handphone, laptop, dan lainnya.
Mereka tidak menggunakan waktu 8,5 jam tersebut secara sekaligus atau non-stop. Mereka membagi penggunaan internet ke dalam micro-moments (segmen kecil).
Misalnya saat di toilet, hanya 2-5 menit, mereka akan sambil browsing atau pada saat commuting di kereta sambil menonton YouTube, atau mengerjakan pekerjaan sambil mendengarkan musik secara online.
Di dalam setiap micro-moments tersebut, mereka selalu mencari empat komponen berikut. Pertama, momen untuk belajar sesuatu atau ‘I want to know’. Mereka mengonsumsi konten pembelajaran.
Kedua, Gen Z akan mencari tempat healing atau ‘I want to go’. Gen Z mencari destinasi yang membuat mereka lebih bahagia.
Ketiga, mereka ingin mencari suatu aktivitas baru yang menarik atau ‘I want to do’, misalnya hiking sebagai aktivitas baru yang membuatnya senang. Keempat, Gen Z ingin shopping atau ‘I want to buy’.
Mereka ingin membeli suatu produk yang berada di sekitarnya. Dari keempat komponen tersebut, ini semua masuk dalam micro-moments yang sangat berpeluang besar untuk bisa dimanfaatkan oleh para orang marketing.
Untuk saluran yang bisa menjangkau para Gen Z ini tentu melalui online atau digital marketing serta ditargetkan kepada mobile phone para Gen Z.
“Selain itu, terdapat paradoks di mana Gen Z sangat familiar dengan digital touchpoints. Bahkan mereka lebih prefer dimana semua aktivitas mereka dapat dilakukan secara digital, mulai dari shopping, memesan makanan, aktivitas perbankan, kerja, konsumsi konten, belajar, hingga berkonsultasi dengan dokter,” kata Iwan.
Mereka ingin semua aktivitas tersebut dapat dilakukan secara nyaman dan personalized melalui gadget dan koneksi internet mereka. Namun, meski menyenangi sesuatu yang digital, mereka juga senang dengan physical touchpoints.
Mengapa demikian? Karena para Gen Z ini juga yang paling banyak mengalami isu kesehatan mental karena digital fatigue atau kelelahan digital.
Mereka terlalu sering berada dalam dunia digital, sehingga butuh pelarian atau healing dengan mencari momen untuk keluar dari internet.
Misalnya, mereka banyak mendatangi the third place, seperti gym, kafe, dan konser untuk melepaskan diri bersama teman-temannya. Aktivitas ini membuat mereka dapat merasakan multisensory experiences.
Bahkan, Gen Z juga mencari destinasi wisata off-grid travel yang mana lokasinya tidak memiliki koneksi internet yang baik, berada di outdoor, dan mendekat dengan alam.
Dengan begitu, setiap brand yang mampu mengombinasikan online dan offline dalam konsep strategi pemasaran dengan begitu baik akan mampu memenangkan para Gen Z.
BACA JUGA: 3 Skill Wajib Project Manager agar Siap Hadapi Tantangan Tahun 2024
Editor: Ranto Rajagukguk