Belajar dari Adolescence, Ini Pentingnya Digital Detox bagi Remaja

digital detox
Ilustrasi (Foto: 123rf)

Adolescence yang belakangan viral bukan sekadar menyuguhkan kisah yang menarik, tetapi juga menyoroti dampak negatif media sosial terhadap kesehatan mental remaja. Serial Netflix ini memperlihatkan bagaimana kecanduan layar memicu kecemasan, depresi, hingga perilaku agresif.

Shaunak Ajinkya, seorang psikiater konsultan di Kokilaben Dhirubhai Ambani Hospital (KDAH) menilai kejadian yang dialami Jamie Miller bukanlah fiksi belaka. Ia mengaku banyak menangani remaja dengan masalah serupa.

“Platform ini (media sosial) memicu perundungan siber, komentar jahat, penyebaran rumor, atau pengucilan, yang dapat menyebabkan kecemasan, depresi, bahkan pikiran untuk bunuh diri,” ujarnya, dikutip dari Indian Express, Kamis (20/3/2025).

BACA JUGA: Anak Tahu Perselingkuhan Orang Tua, Bagaimana Dampak pada Mentalnya?

Ajinkya mengambil kasus S (15) dan J (17) sebagai contoh nyata. S mulai mengalami gangguan citra tubuh setelah sering melihat konten kecantikan di media sosial. Ia merasa tidak cukup baik, mulai membatasi makan secara ekstrem, bahkan mengukur harga dirinya dari jumlah like.

Sementara itu, J mengalami tekanan dari komunitas gaming yang membuatnya merasa tidak cukup keren atau berbakat. Ini membuat dirinya makin terobsesi mencari pengakuan sosial hingga akhirnya meledak dalam kemarahan.

Berangkat dari kasus-kasus inilah, Ajinkya menekankan pentingnya digital detox bagi remaja. Ia menilai pengurangan paparan media sosial ini penting karena platform tersebut dapat memicu perasaan negatif melalui perbandingan sosial dan gambaran kehidupan yang tidak realistis.

“Sebagian besar konten di media sosial hanyalah ilusi yang bisa merusak kepercayaan diri. Jangan terjebak dalam permainan mereka (para troll). Jika tidak ada yang menanggapi, mereka biasanya akan berhenti,” kata Ajinkya.

BACA JUGA: Manfaat Steam Eye Mask yang Suka Dipakai Jennie BLACKPINK

Untuk memulai digital detox, Ajinkya menyarankan remaja menerapkan aturan penggunaan media sosial, seperti menghindari layar satu jam sebelum tidur. Ia juga menegaskan perlunya belajar menyalurkan emosi melalui jurnal dan mindfulness.

Adapun untuk membatasi waktu layar, kata Ajinkya, dapat dilakukan dengan aplikasi pemblokir. Selain itu, bisa juga dengan menetapkan waktu bebas gadget saat belajar dan bersama keluarga, serta menggantikan kebiasaan scrolling dengan melakukan aktivitas di luar rumah.

Selain remaja itu sendiri, Ajinkya menyarankan agar orang tua juga terlibat dalam proses digital detox. Ia menganjurkan para orang tua agar meluangkan waktu untuk berbicara dengan anak mereka.

“Dengarkan tanpa menghakimi. Komunikasi yang terbuka dapat membantu anak menghadapi tekanan media sosial dengan lebih baik,” tutuenya.

Editor: Ranto Rajagukguk

Related

award
SPSAwArDS