Setiap perusahaan di industri manapun tidak terlepas dari yang namanya krisis. Sebelum krisis terjadi dan menjadi berita tidak baik bagi konsumen, perusahaan perlu mengetahui bagaimana manajemen krisis yang tepat.
Fenomena ini tentu bisa mengancam perusahaan apa pun, baik berskala kecil maupun perusahaan besar. Bahkan, perusahaan legendaris sekelas KFC juga pernah mengalami hal ini.
Ketika sebuah perusahaan melakukan kesalahan, mereka tentu melakukan permintaan maaf kepada masyarakat. Namun, seringkali permintaan maaf ini terasa seperti formalitas belaka. Tak dipungkiri, konsumen sebagai manusia tentu memiliki sisi emosional yang perlu disentuh oleh pihak yang sedang melakukan kesalahan.
Ignatius Untung, Praktisi Marketing dan Behavioral Science, menjelaskan bagaimana manajemen krisis ini perlu dilakukan dari sisi behavioral science pada program Market Think pada kanal Youtube Marketeers TV.
BACA JUGA: Brand Positioning Coca-Cola: Ini Bukan Soal Rasa, Tapi Brand Formula
Ketika seorang konsumen mengetahui informasi bahwa sebuah brand melakukan sebuah kesalahan, maka secara psikologis konsumen akan berpikir secara conscious dan subconscious.
“Manusia itu punya dua mode. Conscious adalah ketika kita melihat detail dan cenderung logis. Subconscious ketika kita merasakan big picture yang cenderung emosional. Ketika dua mode ini sedang sama-sama kuatnya, kita akan lebih fokus memperhatikan segala sesuatu detail bukan hanya logis, tetapi perasaannya,” jelas Untung.
Hal ini berlaku pada permintaan maaf yang dapat melibatkan keduanya, baik secara sadar dan emosional. Ini juga berlaku pada tahun 2018 terhadap KFC di Inggris yang pernah mengalami permasalahan ketika pada supply ayam.
Krisis ini membuat stok ayam tidak cukup dan membuat banyak toko tutup karena supply ayam terhambat. Kejadian ini menimbulkan kekecewaan konsumen dan menjadi viral di media sosial.
Manajemen krisis dari KFC sungguh luar biasa tidak hanya melontarkan permintaan maaf saja.
KFC membuat materi iklan yang ditayangkan di dua media nasional. Logo KFC diubah menjadi ‘FCK’ yang merupakan sumpahan yang familiar dalam Bahasa Inggris. Kemudian, di bagian bawahnya diikuti oleh permintaan maaf.
BACA JUGA: Belajar Marketing ‘Roasting’ dari Entertainment Company Bernama Karen’s Diner
“Mereka ambil risiko menggunakan kata sumpahan yang berasosiasi negatif, tapi untuk culture Inggris masih bisa diterima karena good sense of humor gitu ya. Hasilnya setelah keluar dari dua media berita nasional itu tadi, ratusan juta share di social media, lebih dari satu miliar editorial coverage, dan komennya positif di social media. KFC pun dimaafkan,” sebut Untung.
Untung juga menjelaskan alasan yang membuat KFC dan FCK menjadi promotor manajemen krisis yang luar biasa.
Pertama, pratfall effect dimana orang cenderung memaafkan ketika yang bersalah tulus meminta maaf. Gesture jauh lebih penting dibandingkan sekadar perkataan karena 90% komunikasi adalah non verbal, bukan terucap dan tertulis.
Tulisan ‘FCK’ ini membangun pikiran subconscious yang menangkap otentisitas dan rasa yang tidak hanya berfokus pada logika saja.
Kedua adalah otentisitas perusahaan yang berlaku selama perusahaan berdiri. Hal ini didukung oleh pemahaman bahwa “brand is all about trust”.
Otentisitas perusahaan dalam berkomunikasi secara verbal dan nonverbal menjadi modal perusahaan dalam membangun kepercayaan publik dan keterikatan yang kuat dengan pelanggan.
“Pelajaran penting yang bisa diambil dari KFC dengan FCK-nya itu adalah satu, kepercayaan itu penting dan kepercayaan itu dibangun dari trust. Jika kita ga nunjukin otentisitas, tetep jaim, profesional, akhirnya jadi ga otentik dan ga bisa dipercaya,” tutup Untung.
Editor: Muhammad Perkasa Al Hafiz
BACA JUGA: Fandom Marketing, Kunci Sukses Korean Wave yang Tak Lekang Waktu