Salah satu tren yang akan marak digunakan dalam kampanye pemasaran di 2017 adalah penggunaan medium virtual reality (VR) dan augmented reality (AR). Kedua teknologi ini sudah cukup akrab baik dari sisi merek dan konsumen. beberapa merek sudah menerapkannya, dan konsumen juga semakin akrab berkat teknologi yang semakin terjangkau.
Namun, berapa biaya yang dibutuhkan ketika merek memutuskan untuk menggunakan konten tersebut. Ivan Chen selaku CEO Anantarupa Studio, pengembang konten VR dan AR, menjabarkan bahwa VR dan AR secara teknologi sangat sophisticated. Sehingga, perusahaan atau merek di Indonesia harus mengeluarkan biaya yang tidak sedikit. Belum lagi hasilnya yang belum tentu sesuai harapan. Padahal di luar negeri konten promosi menggunakan VR dan AR jamak dilakukan.
.Minimal untuk konten VR yang paling sederhana saja dibutuhkan biaya tidak kurang dari Rp 100 juta. “AR dan VR adalah media baru buat engagement dengan customer. Tidak bisa disamakan dengan pasang iklan di media konvensional. Iklan mungkin bagus untuk ciptakan awareness tapi tidak tercapainya engagement. Masalahnya seberapa besar minat merek untuk memanfaatkan teknologi tersebut,” terang Ivan.
Selain masalah bujet, Ivan mengaku banyak merek terlalu berekspektasi banyak namun terganjal masalah dana. Konsep yang dipaksa oleh merek juga terkadang membuat fungsi dari teknologi itu sendiri menjadi tidak optimal. Belum lagi merek meremehan proses produksi konten VR dan AR.
Ivan mengaku untuk menciptakan konten VR dan AR setidaknya butuh waktu minimal tiga minggu sampai tiga bulan. Secara detail, penciptaan konten AR dan VR terkait dengan produksi aset dan berapa banyak aset yang diciptakan.
Aset itu menjadi model 3D yang harus dibuat, bisa dalam bentuk objek, karakter, enviromental, dan animasi. Proses produksi satu aset bisa mencapai sepuluh hari. Itu belum termasuk proses reduce asset untuk konten AR, rigging, shadder, game engine, alpha dan beta test.
Karenanya, sebelum memutuskan menggunakan VR dan AR sebagai metode promosi pemasaran, merek perlu memahami apa tujuannya. Sekadar gimmick, engage dengan user, atau penjualan. Tujuan yang berbeda tentu implementasinya juga berbeda. Alasannya, meski mahal, bila sesuai, hasilnya akan maksimal.
Editor: Sigit Kurniawan