Beriklan di Media Luar Ruang Masih Potensial

marketeers article
Selain investasinya yang bisa memakan miliaran rupiah, beriklan di media luar ruang atau Out of Home (OOH) nyatanya membutuhkan usaha lebih, khususnya dalam memonitor sejauh mana iklan tersebut mampu menciptakan brand recall terhadap konsumen. Kendati demikian, OOH sebagai salah satu media beriklan, memiliki potensi besar yang belum diketahui banyak orang.
 
Setidaknya hal itu diyakini betul oleh perusahaan penyedia informasi dan riset konsumen PT The Nielsen Company Indonesia (Nielsen). Perusahaan yang berasal dari Amerika Serikat ini menyatakan penetrasi OOH di Indonesia berada di urutan kedua (52%) setelah televisi (96%), dan berada di atas radio (40%), Internet (37%), surat kabar (11%), dan majalah/tabloidd (6%). 
 
Hellen Katherina, Direktur Media Nielsen Indonesia mengatakan, lebih dari 67% konsumen di Indonesia pergi ke luar rumah pada hari kerja maupun akhir pekan. Ia menyebut, rata-rata waktu yang dihabiskan seseorang di luar rumah mecapai hingga lima jam, dengan 1-2 jam berada di jalan. “Khusus Jakarta, angka itu bisa mencapai dua kali lipat,” paparnya dalam konferensi pers di Jakarta, Senin, (6/7/2015).
 
Hellen melanjutkan, 2/3 dari konsumen Indonesia berusia 20 hingga 49 tahun yang tinggal di kota besar mengaku melihat media luar ruang statis saat melakukan perjalanan di luar rumah. Hellen bilang, OOH dianggap media yang efektif untuk mempromosikan produk atau brand yang menyasar segmen usia produktif. 
 
Di sisi lain, sambung Hellen, 64% konsumen Indonesia mengaku melihat OOH dalam seminggu, dengan penetrasi tertinggi berada di Kota Denpasar (89%), Banjarmasin (88%), Solo dan Palembang (86%), serta Medan dan Makassar (85%). Uniknya, penetrasi kota Jakarta hanya 69%. Ini terjadi karena Jakarta sebagai Ibukota memiliki media OOH paling banyak yang mencapai 1.708 titik. Bisa jadi, semakin banyak iklan billboard berdiri tegak di sepanjang jalan, semakin sering iklan itu dilupakan orang. 
 
“Ini juga terjadi karena di daerah, televisi maupun koran lokal jangkauannya sangat kecil. Sehingga, pengiklan di daerah mengandalkan media luar ruang,” tuturnya.
 
Kendati potensial, Hellen bilang, belum ada satu pengukuran pun yang dapat memastikan apakah beriklan di OOH efektif bagi brand tersebut atau tidak. Selain itu, belum ada yang mampu merekomendasi secara akurat lokasi OOH mana yang sesuai dengan target dan jangkauan dari merek tersebut. “Dengan investasi yang mahal serta biaya perawatan yang tinggi, jangan sampai pengiklan atau merek malah tidak mendapatkan return yang sesuai,” tuturnya.
 
Itulah sebabnya, Nielsen menggandeng Fractal untuk melakukan berbagai pengukuran terkait media luar ruang, termasuk menganalisis merek apa saja yang menggunakan OOH, lokasi mana yang tepat untuk beriklan, berapa besar jangkauannya, target sasaran apa yang bisa dibidik, hingga berapa besar investasi yang semestinya dikeluarkan oleh pengiklan. “Jangan sampai, pengiklan beriklan di tempat yang salah. Ia membayar dengan harga yang tinggi, padahal lokasi tersebut menurut kami bukan lokasi yang prime. Sindikasi ini bisa menjadi bahan penentuan harga yang standar untuk industri OOH,” terang Hellen.
 
Sebagai tahap awal, Nielsen-Fractal telah memonitor 1.708 titik OOH di Jakarta, baik berupa billboard, baliho, videotron (billboard LED), maupun jembatan penyebrangan orang (JPO). Layanan berbasis mobile yang memakan waktu pengerjaan selama tiga tahun ini, juga akan diboyong Nielsen-Fractal di empat kota lainnya. Namun sayang, saat dikonfirmasi, baik Nielsen maupun Fractal masih merahasikan empat kota yang dimaksud.
 
Managing Director Fractal Reza Sjarif mengatakan, kerja sama ini juga memberikan informasi kepada klien tentang apa saja yang telah dilakukan kompetitor lewat OOH, serta berapa besar bujet iklan kompetitor untuk OOH. “Kami ingin, klien atau pengiklan memiliki rencana dulu sebelum berinvestasi di OOH. Jangan karena lokasinya ramai dikunjungi orang, mereka lantas beriklan di sana. Sebab, hal itu bukan merupakan jaminan efektivitas beriklan di luar ruang,” tuturnya.
 
Reza menyebut, hingga kini ada sekitar 485 brand yang menggunakan media luar ruang untuk beriklan. Di sisi lain, penyedia media OOH mencapai 200-an perusahaan, dari yang berskala besar hingga pelaku UKM. Ia juga menyebut, belanja iklan tahun lalu mencapai Rp 110 triliun, dengan rincian 70% berasal dari iklan televisi dan 30%-nya media cetak. Dari angka iklan media cetak itu, 5%-6% nya berasal dari majalah atau tabloit 
 
“Kami yakin dalam beberapa tahun ke depan, OOH bisa berada di posisi ketiga untuk nilai belanja iklan terbesar,” tutup Reza.

    Related

    award
    SPSAwArDS