Bisnis Hotel dan Perjalanan di 2019 Kebal dari Politik

marketeers article
11487650 hotel service bell

Lini bisnis perhotelan, agen perjalanan, dan maskapai penerbangan bak harga mati yang tak terpisah satu dengan yang lain. Tantangan yang terjadi di satu lini secara otomatis membawa pengaruh pada lini bisnis lain. Perubahan iklim di tiap-tiap sektor harus mampu diadopsi agar para pemain dapat bertahan di tengah iklim kompetisi yang kian ketat.

Iklim bisnis perhotelan di Indonesia terus berubah dari waktu ke waktu. Kehadiran digital economy tak sekadar memberi kemudahan bagi para pemain untuk memasarkan bisnis mereka, melainkan turut memboyong sederet tantangan baru yang tak jarang mengagetkan para pemain.

Kehadiran sejumlah platform seperti Airbnb, Airyrooms dan Reddoorz, memungkinkan siapa pun untuk dapat menyewakan kamar apartemen atau rumah pribadi mereka.  Memang, kehadiran platform semacam ini dapat membuka peluang usaha baru. Namun, keberadaan mereka tak jarang dianggap mengancam bisnis perhotelan dan villa.

Meski demikian, pertumbuhan hotel di Indonesia per Januari-September 2018 lebih baik dibandingkan 2017 secara keseluruhan.  Hingga akhir tahun, Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) memperkirakan akan ada kenaikan sekitar 4%-5%. “Tahun lalu, secara keseluruhan okupansi mencapai 54% secara nasional. Kemungkinan akan sedikit lebih tinggi pertumbuhannya dibandingkan tahun lalu. Daerah yang relatif stabil dan cenderung mengalami peningkatan pertumbuhan adalah area Jakarta dan Bali,” kata Ketua Umum PHRI Hariyadi Sukamdani.

Anggapan lain datang dari L. Sudarsana, GM Corporate Business, Develoment, and Marketing Communications Santika Hotels & Resorts. “Kehadiran Airbnb, Airy Rooms, Red Doorz, dan Capsule Hotel memiliki segmen tersendiri. Backpacker memiliki kemungkinan untuk main ke sana. Namun, bagi mereka yang biasa menginap di hotel bintang 3 tidak akan terpengaruh. Mungkin sekadar mencoba, namun akan kembali lagi,” katanya. Kehadiran platform serupa Airbnb Sc justru akan lebih berdampak pada para penyedia budget hotel.

Diferensiasi dari segi layanan dapat menjadi kunci bagi para pemain untuk dapat bersaing, terlebih di wilayah Jakarta dan Bali yang kian hari kian kompetitif.

 

Data: Colliers International Indonesia, Property Market Update Q3 2018

Merujuk data Colliers International Indonesia mengenai Property Market Update Q3 2018, 43% dari pasok kamar selama 2018–2021 diperkirakan akan beroperasi pada tahun 2019. Sebagian besar, ini  merupakan proyek yang tertunda . Dari total pasok kamar yang diperkirakan akan beroperasi pada tahun 2019; sekitar 57% merupakan hotel bintang 4 dan 21% disumbang hotel bintang 5. Sedangkan sekitar 22% berasal dari hotel bintang 3.

Sementara hingga akhir 2018, Average Occupancy Rate (AOR) di Jakarta diprediksi mencapai 62,8% dengan Average Daily Rate (ADR) mencapai US$ 76. Jakarta menjadi wilayah yang membutuhkan kegiatan berskala nasional dan internasional agar mampu mendongkrak kinerja hotel. Sebut saja gelaran Asian Games 2018 yang baru saja berlalu.

Selain itu, akhir tahun bisa menjadi momentum yang tepat untuk meraup lebih banyak keuntungan. Pasalnya, pada 2019 nanti, long weekend ataupun hari libur di tengah minggu tak sebanyak tahun 2018.

Lain wilayah, lain cerita. Meski sempat mengalami bencana yang tak diduga, bisnis perhotelan di Bali masih relatif stabil.  Bahkan, Hariyadi mengatakan jumlah suplai hotel di Bali cenderung berlebihan.

Hotel bintang 4 dan bintang 5 diproyeksi mendominasi pasokan dalam dua tahun ke depan. Sekitar 45% dari total pasok kamar (2018 – 2021) diperkirakan akan beroperasi pada tahun 2019. Dari total pasok kamar yang diperkirakan akan beroperasi pada tahun 2019, sekitar 78% merupakan hotel bintang 5 dan 22% adalah hotel bintang 4. Hebatnya, tidak ada pasokan hotel bintang 3 di Bali pada tahun depan.

Bercermin dari tren yang terjadi pada 2018, libur sekolah dan libur musim panas menyebabkan tingkat hunian di Bali meningkat sejak Juli dan mulai menurun pada akhir liburan musim panas pada September-November. Libur natal dan tahun baru diproyeksi dapat meningkatkan kinerja hunian hotel. Hal ini tak akan jauh berbeda pada tahun nanti.

Di Bali, Average Occupancy Rate diprediksi mencapai 62,8% dengan Average Daily Rate sebesar US$ 111 hingga akhir 2018. IMF-WB annual meeting (Oktober) dan FIABCI December Meeting and Global Business Summit 2018 (Desember) akan menjadi kegiatan yang dapat meningkatkan tingkat hunian. Pada 2019-2021, tingkat kinerja harga diprediksi meningkat. Demikian pula dengan tingkat hunian yang diprediksi tumbuh stabil hingga 2021.

Leisure market akan menjadi tren utama di Bali. Apalagi, banyak event berskala nasional maupun internasional digelar di Pulau Dewata, seperti Soundrenaline, Ubud Village Jazz, dan Maybank Bali Marathon.

Traveloka melihat terjadi perubahan tren pola konsumsi saat ini. Sebagian masyarakat Indonesia –mungkin termasuk Anda– lebih gemar menghabiskan waktu dan pendapatannya untuk kebutuhan travelling (leisure economy). Pengeluaran liburan pada 2018 diperkirakan tumbuh 5,1% dan mencapai Rp 368,9 triliun.

Menurut data Google, jumlah pencarian terkait travel mengalami kenaikan yang signifikan sebesar 30% per tahun. Fenomena ini terjadi karena didukung oleh kemudahan akses informasi perjalanan dan kenyamanan pembelian melalui berbagai aplikasi, seperti Traveloka dan Tiket.com. Iklim baru ini mau tak mau harus disambut dengan adaptasi yang baru dari para pemain lama. Para pemain harus memberikan produk dan layanan yang relevan, termasuk dalam hal sistem payment.

“Saat ini, Traveloka memiliki opsi pembayaran yang lengkap dengan lebih dari 40 opsi. Salah satu inovasi yang baru-baru ini kami berikan adalah memberikan alternatif pembayaran dengan cara mencicil dengan menggunakan Traveloka PayLater. Pengguna dapat melakukan perjalanan yang aman dan nyaman dengan melakukan pembayaran secara fleksibel di kemudian hari, untuk jangka waktu 1-12 bulan,” kata Kurnia Rosyada, Vice President of Marketing Traveloka.

Selain PayLater, layanan yang akan dikembangkan antara lain Traveloka Eats, layanan pemesanan atraksi dan aktivitas hiburan. Traveloka berkomitmen fokus pada user journey. Hanya dengan memberikan experience yang bagus dalam user journey itu, Traveloka optimistis mampu bersaing pada tahun depan.

Tahun Politik? Tetap Berlibur

Membuka catatan Pemilu 2014, Tiket.com melihat kondisi itu tak banyak memberikan efek negatif bagi dunia travel. Meskipun tahun politik kerap menjadi momok yang dikhawatirkan banyak pihak, pengalaman pemilu sebelumnya menunjukkan ada banyak pihak yang justru berpergian dari kategori ritel maupun pemerintah.

“Pengalaman kami pada 2014 menunjukkan suatu hal yang bagus. Ada banyak perpindahan orang. Sebelum Pemilu, akan ada banyak orang yang justru pergi ke daerah. Demikian pula saat hari H. Banyak orang yang ingin berwisata lantaran ingin melepas penat dan lelah,” ungkap Gaery Undarsa, Chief Marketing Officer Tiket.com.

Optimisme yang sama turut dirasakan Santika Grup. Mereka melihat banyak konsolidasi yang dilakukan para peserta ke daerah dan kota pada tahun politik. “Mereka mengadakan meeting di hotel, bahkan membawa tim untuk menginap di hotel. Konsolidasi biasa dilakukan 2-3 hari sehingga kami bisa menjual paket menginap ataupun residensial. Kampanye juga memakan waktu yang panjang, dan ini menjadi momen yang menguntungkan,” jelas Sudarsana. Namun, kondusif atau tidaknya pemilu 2019 diproyeksi Colliers tetap menjadi penentu kinerja hotel pada semester pertama 2019.

Lebih dari itu, Tiket.com memandang hal yang perlu diwaspadai justru masuknya wisatawan China ke Indonesia. Ada hal lain yang tak banyak disoroti para pemain. Jika dilihat, banyak dari wisatawan China yang masuk ke Indonesia dengan membeli tiket dari biro asal China di Indonesia. Bahkan, transaksi menggunakan metode seperti WeChat Pay dan Alipay. “Jadi ujung-ujungnya uang mengalir ke negara mereka lagi. Dampaknya akan terasa oleh para toko dan land operator yang ada di sini,” ujar Gaery.

Di satu sisi, iklim ini berpeluang untuk diadopsi  para pemain maskapai yang memiliki izin carter. Pasalnya, banyak wisatawan China yang gemar berpergian secara berkelompok. Garuda Indonesia pun menangkap peluang ini.

Biasanya tren penerbangan di Indonesia akan menurun pada periode Februari-Maret. Selanjutnya, mengalami puncak peningkatan pada April-Juli, dan kembali sepi sekitar September-Oktober. Pertanyaannya, bagaimana membuat demand pada titik-titik pasar yang rendah? Pesawat yang menganggur banyak, namun demand tidak ada. Jawabannnya, menjala bisnis lewat pesawat carter.

“Garuda Indonesia memiliki tiga bisnis model carter. Pertama, melalui seasional carter saat low demand. Kedua, membuat reguler carter setiap hari seperti di China, dan terakhir meluncurkan tactical carter yakni mengambil momen ketika orang-orang membutuhkannya,” ungkap  Direktur Niaga Garuda Indonesia Pikri Ilham Kurniansyah. Selain China, Garuda juga mengincar pasar di Rusia, India, dan Jepang karena memiliki potensi yang besar.

Jeli dengan pasar menjadi kunci bagi para pemain untuk bisa memenangkan kompetisi. Pasalnya, ia menilai masyarakat kini tak hanya berlibur saat high season. Banyak dari mereka yang memilih low season lantaran lebih mudah untuk mendapatkan hotel, destinasi wisata yang tidak ramai, dan harga tiket pesawat yang jauh lebih murah. “Bukan berarti low season pasarnya tidak ada. Pasar itu banyak sebenarnya. Tinggal bagaimana kita jeli dengan pasar,” ujar Pikri yang juga memprediksi bahwa persaingan low cost carrier bakal semakin ketat pada tahun depan.

Pada akhirnya, masing-masing pemain dari dunia perhotelan, agen perjalanan, dan maskapai masih haul yakin dengan sektornya masing-masing. Apalagi, masyarakat Indonesia saat ini sangat tergila-gila dengan liburan. Hebatnya lagi, sektor pariwisata menjadi salah satu sektor yang kebal terhadap gonjang-ganjing-ganjing pemilu. Dengan catatan, pemain bisa beradaptasi dengan perubahan yang terjadi.

 

 

Related