Masih berada dalam usia yang muda dan memimpin salah satu perusahaan digital payment terbesar di Indonesia. Itulah tantangan dihadapi Danu Wicaksana selaku CEO TCASH. Semenjak Juni 2017, Danu dipercaya untuk menakhodai arah dan pertumbuhan bisnis dari TCASH, anak usaha dari PT Telkomsel.
Ia menganggap bahwa bisnis payment yang saat ini sedang dikembangkan oleh TCASH hanyalah sebuah awalan. Ke depannya, akan banyak layanan-layanan di luar payment yang bisa dikembangkan di dalam bisnis electronic money ini, yang bisa membantu mensejahterakan banyak masyarakat Indonesia, terutama yang masih belum memiliki akses layanan perbankan (unbanked).
Kepada Ramadhan Triwijanarko dari Marketeers, pria asal Semarang ini berbagi beberapa visi dan pandangannya terhadap bisnis TCASH ke depannya.
Bagaimana Anda melihat industri financial technology (Fintech) di Indonesia saat ini?
Fintech di Indonesia masih sangat berkembang. Pada mulanya, bank menerbitkan layanan pembayaran electronic money berbentuk kartu atau card-based. Dalam beberapa tahun terakhir, perusahaan startup pun mulai hadir di industri fintech seperti Cekaja dan Halomoney, untuk memberikan layanan komparasi produk finance. Fintech Payment juga muncul dalam bentuk seperti Go-Pay dan e-cash dari Bank Mandiri. Hingga tahun lalu, sudah ada sekitar 235 fintech di Indonesia yang terbagi dalam beberapa kategori. Dari semua kategori yang ada, sektor payment adalah yang memiliki porsi terbesar dibandingkan jenis fintech lainnya.
Hal apa yang paling menarik dari sektor payment ini?
Kami melihat sektor payment ini memiliki potensi untuk jadi unicorn selanjutnya. Kami memiliki misi memberikan value yang besar bagi shareholder kami, dan pada akhirnya berkontribusi untuk melakukan sesuatu yang baik bagi negara ini. Payment ini baru permulaan bagi kami. Berdasarkan data dari World Bank, pada tahun 2017, di Indonesia, hanya terdapat 49% orang yang memiliki akun bank. Dari data ini, terlihat masih banyak masyarakat Indonesia yang belum memiliki akses ke layanan perbankan. Disinilah kami berharap dapat hadir dan menjembatani orang-orang untuk bisa menikmati beragam layanan perbankan, khususnya bagi mereka yang tinggal di daerah-daerah.
Lantas, apa yang menjadi hal tersulit dalam sektor payment ini?
Hal tersulit adalah mengubah kebiasaan masyarakat Indonesia. Hingga tahun 2017, sekitar 80% transaksi di Indonesia, masih terjadi dalam bentuk tunai. Untuk mengubah kebiasaan ini, kami percaya dibutuhkan trigger yang tidak hanya sekali, tetapi juga dilakukan terus menerus secara konsisten. Masalah selanjutnya adalah kepercayaan, karena kita bicara uang. Sangat krusial untuk meyakinkan masyarakat bahwa produk electronic money seperti TCASH bisa dipertanggungjawabkan.
TCASH sudah ada sejak beberapa tahun lalu. Kenapa sepertinya TCASH baru ramai lagi sekarang?
Betul sekali, TCASH sejatinya sudah ada sejak tahun 2007. Meskipun demikian, pada saat itu, industri fintech, khususnya electronic money, belum populer di kalangan masyarakat. Bahkan, saat itu juga belum ada Alipay dan WeChat Pay. Untuk kami memfokuskan di industri ini, pasarnya belum siap. Di sisi lain, saat itu, bisnis Telkomsel sedang berjaya, karena gencar melihat industri smartphone yang baru berkembang dan masuk di Indonesia. Karena pertimbangan ini, TCASH pun belum menjadi fokus utama saat itu.
Pada bulan Oktober 2015, kami meluncurkan TCASH kembali. Di luar, sektor electronic money sudah semakin dikenal dan berkembang. Untuk memastikan perkembangan TCASH tidak terkendala, pada 2017, manajemen Telkomsel melihat dibutuhkan perubahan dan dorongan signifikan untuk perusahaan. Mereka pun memutuskan TCASH harus diberi kebebasan dan otoritas sebagai perusahaan mandiri, namun masih menjadi bagian dari bisnis Telkomsel. Sejak saat itu, banyak talenta-talenta baru masuk yang DNA-nya berbeda dengan Telkomsel. Tak hanya itu, TCASH pun memiliki kantor terpisah, serta otoritas yang berbeda dari unit bisnis lain di Telkomsel.
Untuk benchmark, TCASH lebih berkiblat kepada siapa?
Masyarakat mungkin lebih mengenal Alipay dan WeChat Pay sebagai kisah sukses electronic money di dunia. Meskipun demikian, kiblat kami bukan seperti Alipay yang memulainya dari bisnis e-commerce. Beda pula dengan WeChat Pay yang memulainya dari layanan chat seperti LINE dan Whatsapp. Kami melihat, bisnis TCASH lebih dekat dengan Paytm (India) dan M-Pesa (Kenya).
M-Pesa adalah ikon dari dunia electronic money. Dari sisi size negara, Kenya merupakan negara kecil, tetapi 40% GDP mereka berasal dari platform M-Pesa yang bisa digunakan untuk pembayaran SIM, uang sekolah, beli pulsa, hinggan penyaluran bantuan pemerintah. M-Pesa dimiliki oleh Safaricom –perusahaan telekomunikasi terbesar di Kenya- mirip dengan kami. Lain halnya dengan Paytm, yang sebenarnya bukan merupakan perusahaan telekomunkasi. Awalnya, mereka adalah perusahaan penyedia konten. Saat pertama kali memperkenalkan bisnisnya, Paytm menjual pulsa kepada masyarakat di India. Hal ini yang membuat Paytm serupa seperti kami, dimana bisnis utamanya adalah penjualan pulsa dan data. Fakta bahwa pada akhirnya, kami juga menjual pulsa dari operator lain, membuat kami semakin mirip dengan Paytm. Karenanya, kedua perusahaan itu adalah benchmark kami.
Anda sendiri masih yakin bahwa perusahaan telco bisa sukses di bisnis fintech?
Ini pandangan pribadi. Bisnis telco saat ini mengalami tekanan yang cukup besar. Saat ini, banyak masyarakat yang cenderung menelfon menggunakan layanan over the top (OTT), seperti Whatsapp dan Line. Sedangkan, di masa lalu, revenue perusahaan telco mayoritas berasal dari voice dan SMS. Dengan adanya OTT, tentu ada tekanan di bisnis voice dan SMS. Meskipun revenue data meningkat, tetapi inovasi tetap harus konsisten dilakukan.
Para shareholders melihat adanya peluang bisnis yang dekat dengan telco, yang bisa menjadi growth engine di masa mendatang. Dengan kesuksesan bisnis yang telah diraih selama bertahun-tahun, telco melihat adanya kesempatan untuk menciptakan disruption technology, terutama dalam hal connectivity dan backbone. Salah satunya adalah di industri fintech.
Karenanya, Telkomsel pun melihat dan mendorong potensi besar TCASH, khususnya dengan memanfaatkan big data. Ke depannya, kami berencana untuk lebih memanfaatkan big data dari telco dan bekerja sama dengan perbankan, untuk dapat memperluas jangkauan masyarakat dalam menikmati beragam layanan perbankan. Misalnya, ketika seseorang di daerah mengajukan permohonan pinjaman, tetapi bank tidak bisa secara langsung memberi pinjaman. Mereka membutuhkan analisis untuk memastikan jika orang tersebut berhak untuk mendapatkan pinjaman atau tidak. Data ini bisa didapatkan dari telco, melihat dari kebiasaan orang tersebut saat membeli pulsa dan data.
Di sini, TCASH data memanfaatkan data telco dari Telkomsel untuk memberikan perbankan score dan parameter sesuai dengan kerjasama tersebut. Untuk dapatkan data yang renyah selain data telco, kami juga bisa pakai data transaksi. Dengana adanya TCASH, semakin banyak transaksi akan semakin membantu credit scoring. Dalam seluruh proses ini, hal penting yang selalu kami pastikan dan menjadi komitmen kami adalah kami akan selalu menjaga keamanan dan privasi data pelanggan TCASH.
Anda sempat menyebut bahwa bisnis payment cuma awal. Jadi seperti apa ekosistem TCASH nantinya?
Payment memang awal bisnis kami. Tetapi, jika ekosistem tidak lengkap, akan susah bagi kami untuk melangkah tahap selanjutnya. Kami melihat, jika hanya mengandalkan payment, akan susah mendapatkan keuntungan maksimal. Karenanya, kami harus membentuk sebuah ekosistem besar untuk TCASH. Saya membayangkan bahwa dari pagi sampai malam, selalu ada alasan bagi seseorang untuk menggunakan TCASH. Misalnya, bangun pagi beli paket data buat telepon. Saat bepergian di siang hari, beli bensin atau naik taksi Blue Bird. Malamnya, dapat berkumpul dengan teman beli kopi dan nonton bioskop. Ketika payment sudah berjalan, kami memiliki data yang sangat baik untuk melihat bagaimana kebiasaan orang menggunakan balance mereka untuk transaksi. Dikombinasikan dengan data telco, baik lokasi dan data, maka bisnis TCASH pun dapat masuk ke tahapan selanjutnya, yakni credit scoring.
Selain itu, kami juga melihat kolaborasi dengan perbankan sangat penting, misalnya dalam membantu penyaluran pemberian pinjaman bagi masyarakat di daerah terpencil. Dengan kolaborasi ini, bisa dipastikan pula data masyarakat akan tetap terjaga keamanannya dan bisa memberikan akses keuangan yang lebih bervariasi, seperti produk asuransi dan reksadana.
Apakah nanti TCASH akan seperti Go-Pay dan GrabPay yang menyalurkan dana Kredit Usaha Rakyat (KUR)?
Kami masih menunggu mekanisme operasional untuk penyaluran KUR sepeti apa. Bagi kami, penyaluran KUR itu tidak hanya semata-mata terkait dengan pembagian uang saja, tetapi bagaimana mengumpulkan uang itu kembali. Hal ini disebabkan karena KUR bukanlah bantuan sosial. Karenanya, kami ingin memastikan dahulu bagaimana metode terbaik untuk masyarakat mencicil ataupun cara kami mengingatkan mereka, sebelum melayani penyaluran KUR.
Anda tadi menyebutkan bisnis payment itu susah mencari keuntungan. Lalu bagaimana?
Kami sadar betul bahwa keuntungan itu akan ada setelah beberapa tahun. Keuntungan akan ada ketika kami sudah memiliki user base yang besar. Saat ini, kami masih di tahap pertama, yaitu mendapatkan user sebanyak-banyaknya dan memastikan user nyaman dengan layanan kami.
Salah satu cara untuk menarik user adalah promo dan diskon. Sampai kapan TCASH akan melakukan promo?
Promo diperlukan untuk mengubah habit masyarakat menjadi nyaman menggunakan TCASH. Meskipun demikian, ada persepsi di masyarakat, bahwa promo-promo, seperti McDonald’s, KFC, dan Starbucks memiliki porsi besar di bisnis kami. Bisa dibilang, dari 10 transaksi yang terjadi, hanya satu transaksi terjadi di ritel merchant. Yang kami lihat, banyak sekali transaksi terjadi pada layanan-layanan lain yang tersedia di TCASH, di luar promo restoran. Ketika seseorang sudah nyaman menggunakan TCASH karena fiturnya yang beragam, mereka pun secara otomatis memanfaatkan layanan lainnya, seperti beli pulsa dan data; bayar tagihan; ataupun remittance melalui aplikasi TCASH Wallet. Artinya, total biaya yang saya gunakan untuk men-subisidi promo itu overall tidak besar, tetapi hanya kelihatan cukup besar.
Apa tantangan utama ketika menjadi CEO TCASH?
Sebelum di TCASH, saya mendapat kepercayaan untuk memimpin Berrybenka dan Hijabenka. Ketika saya bergabung di TCASH, tantangannya adalah bagaimana mengubah TCASH menjadi perusahaan yang agile dan mampu bergerak cepat. Khususnya, karena TCASH adalah bagian dari Telkomsel yang merupakan perusahaan besar, dimana seluruh aktivitas perusahaan telah memiliki SOP yang jelas dan rigid, dalam artian yang positif.
Tak hanya itu, Behavior dan mindset saya pun harus berubah. Tidak hanya di tim internal TCASH, tetapi juga di Telkomsel. Tantangan lainnya adalah dalam membangun tim, khususnya untuk menarik talenta-talenta berkualitas bergabung ke kami. Ketika saya masuk, jumlah karyawan TCASH hanya ada 40 orang yang mayoritas berasal dari karyawan Telkomsel. Sekarang, kami sudah memiliki 100 karyawan lebih, dan 60% adalah orang luar.
Editor: Sigit Kurniawan