Blue Bird Yang Selalu Ingin Menjadi Pelopor dan Berupaya Adaptif
Puluhan tahun, Blue Bird eksis memberikan layanan transportasi roda empat berbasiskan point-to-point di Jakarta dan kota-kota besar lainnya. Namun, perubahan kebiasaan dan hadirnya model bisnis baru, sempat membuat eksistensi Blue Bird dipertanyakan.
Kompetisi dan perubahan perilaku konsumen membuat Blue Bird tidak bisa jumawa. Pembenahan serta penambahan inovasi mereka implementasikan demi menangkap perubahan tren yang ada saat ini. Dan, tahun 2019 menandakan langkah baru Blue Bird dalam hal inovasi produk.
Pada April 2019, Blue Bird meluncurkan e-taxi, layanan taksi dengan menggunakan armada mobil listrik. Saat ini, Blue Bird memiliki 30 armada taksi listrik. Blue Bird menargetkan memiliki 2.000 armada e-taxi hingga tahun 2025.
“Kami percaya terhadap konsep sustainability. Dan, inisiatif ini beyond profit. Kalau kami mau bertahan maka kami juga harus bisa bertahan dalam hal environment, salah satunya melalui konsep e-taxi ini,” jelas Amelia Nasution, Marketing Director PT Blue Bird Tbk.
Banyak yang menyebut bahwa mobil listrik menjadi salah satu masa depan industri otomotif dan transportasi. Beberapa negara sudah menyambut baik penggunaan mobil listrik sebagai kendaraan pribadi dan kendaraan umum. Namun, peluncuran e-taxi ini terbilang berisiko besar, khususnya untuk sebuah perusahaan transportasi.
Pertama, layanan pendukung untuk sumber daya utama mobil listrik di Indonesia belum sebanyak di luar negeri. Di Jakarta saja, kehadiran stasiun pengisian bahan bakar listrik bisa dihitung dengan jari. Kedua, mobil listrik masih dicap sebagai kendaraan mewah dari sisi regulasi, sehingga pajaknya menjadi tinggi. Ketiga, harga mobil listrik tidak bisa dibilang murah karena mayoritas mobilnya berasal dari luar Indonesia.
Namun, Blue Bird tetap yakin dengan meluncurkan layanan e-taxi. Bagi Amelia, inovasi ini harus dimulai dengan keberanian. Ia menegaskan bahwa sedari awal, Blue Bird ingin menjadi pelopor dalam industri yang mereka geluti. Sejarah mencatat bahwa Blue Bird merupakan perusahaan taksi pertama di Indonesia yang memperkenalkan tarif argometer, taksi pertama yang menggunakan pendingin mobil, dan yang taksi pertama yang menggunakan radio panggil.
Wanita yang menyandang sebagai Best Industry Marketing Champion 2019 dari sektor transportasi ini menilai bahwa di tengah arus disrupsi digital dan perubahan model bisnis, industri transportasi tidak boleh melupakan satu hal yang sangat fundamental, yakni keamanan. Faktor keamanan ini yang menjadi basis servis utama yang diberikan Blue Bird kepada para pengguna setianya.
“Masyarakat yang menggunakan layanan kami menjadi sebuah amanah dan harus dilaksanakan dengan baik. Bahkan, pengemudi sering mengibaratkan membawa penumpang sama halnya dengan membawa keluarga,” jelasnya.
Faktor keamanan adalah harga mati yang tidak bisa ditawar. Karenanya, Blue Bird tidak tertarik dengan perang harga yang kerap dilakukan para kompetitor yang menjalankan bisnis transportasi berbasis aplikasi. Ia menjelaskan, ada beberapa pos biaya yang rutin dikeluarkan Blue Bird untuk menjamin faktor keamanan.
“Kombinasi antara keamanan dan tarif adalah hal yang sangat krusial agar bisa memberikan layanan transportasi yang aman dan nyaman bagi pengguna. Beda Rp 10.000-Rp 15.000 tidak sebanding dengan masalah keamanan kita semua,” jelasnya.
Saat ini, Blue Bird memiliki setidaknya 25.000 armada yang tersebar di 19 kota di Indonesia, termasuk armada Big Bird dan Golden Bird. Selain menghadapi persaingan dari pemain transportasi berbasiskan aplikasi, Blue Bird juga harus berkompetisi dengan taksi lokal di beberapa kota.
Saat ini, Jakarta masih menjadi kandang utama Blue Bird. Sementara, kompetisi ketat terjadi di beberapa kota lainnya. Bahkan, armada Blue Bird di kota-kota lain tidak sebanyak di Jakarta dan sekitarnya. Maklum, nilai transaksi di Jakarta masih yang terbesar ketimbang daerah lainnya.
Namun, Blue Bird tidak kehilangan akal. Di beberapa kota, Blue Bird melakukan pendekatan yang lebih spesifik agar sesuai dengan kebutuhan pasti para pelanggan. Semisal, Blue Bird fokus pada kebutuhan pelanggan yang benar-benar membutuhkan moda transportasi taksi. Salah satunya bekerja sama dengan institusi rumah sakit, hotel, pusat hiburan, dan bandar udara.
“Intinya, di luar Jakarta, kami harus bisa lebih cerdik dalam melihat peluang. Di Bali dan beberapa kota lain seperti di Padang dan Makassar, kami menggunakan pendekatan komunitas,” terangnya.
Terlepas dari kompetisi yang ketat, Blue Bird sadar bahwa disrupsi dan bisnis model baru dalam industri transportasi telah membuat beberapa kawan-kawan mereka berguguran. Di satu sisi, transportasi taksi tidak boleh hilang. Hal ini yang membuat Blue Bird menerapkan inisiatif Kawan Blue Bird, sebuah kerja sama dengan operator taksi lokal di beberapa kota.
Saat ini, insiatif Kawan Blue Bird sudah terjadi di Yogyakarta dan Bandung. Menggandeng beberapa operator taksi lokal, Blue Bird membantu sistem operasional mereka. Sementara, aset tetap menjadi milik para pengusaha taksi lokal.
Selain dengan operator taksi lokal, kolaborasi juga dilakukan lintas industri. Sistem pemesanan dan pembayaran menjadi fokus utama kolaborasi Blue Bird. Amelia menyadari bahwa Blue Bird bukanlah perusahaan teknologi. Karenanya, kolaborasi banyak dilakukan agar mereka bisa tumbuh dan melayani penumpang dengan lebih baik. Khususnya kerja sama dalam hal metode pembayaran dan pemesanan. Bersama LinkAja, Blue Bird memperluas ketersediaan opsi pembayaran untuk penumpang. Bersama Gojek, armada taksi Blue Bird kini bisa dipesan melalui aplikasi ride hailing itu.
“Kami tidak terancam dengan transportasi umum atau berbasis aplikasi. Spesialisasi kami adalah layanan transportasi point-to-point, bringing people home safely,” pungkasnya.