Blue Ocean Strategy Jadi Cara Bioskop Online Membangun Model Bisnis

marketeers article

Platform over the top (OTT) tengah menginvasi masyarakat dunia. Penetrasi internet dan teknologi digital menjadi faktor sukses platform yang mendistribusikan beragam konten melalui internet ini kian digandrungi masyarakat dunia. Ditambah, hadirkan pandemi menjadi pendorong hingga platform OTT ini nilainya mencapai US$ 101,42 juta pada tahun 2020. Peluang ini yang tidak ingin dilewatkan oleh para pemilik konten video streaming, termasuk Visinema Group sebagai rumah produksi melalui platform Bioskop Online yang memilih bermain di blue ocean area dan menentukan model bisnis.

“Platform OTT ini masih bertumbuh hingga diprediksi sampai tahun 2026 nilainya bisa mencapai US$ 223,07 juta. Di sini, pasar North America menjadi pasar terbesar dan Asia Pasific menjadi pasar yang paling cepat pertumbuhan pasarnya. Termasuk di Indonesia yang kini pengguna OTT lebih dari 83 juta. Bisa dibilang, 1 dari 3 orang Indonesia pernah melakukan streaming di platform OTT,” ujar Ajeng Parameswari, President of Digital Business Visinema Group pada acara Marketeers iClub, Rabu (23/3/2022).

Bukan tanpa alasan. Ajeng menambahkan bahwa tingginya minat terhadap streaming konten di OTT lantaran konten ini memiliki fleksibilitas dan akses yang sangat mudah dan disukai oleh audiens. “Kami pun melakukan riset internal terhadap konsumen dan menanyakan kenapa mereka suka nonton di OTT? Mereka menjawab karena punya full control terhadap konten yang mereka tonton,” lanjut Ajeng.

Dari sini, pemain di industri video streaming semakin ramai dan hadir dengan berbagai model bisnis. Ajeng memaparkan setidaknya saat ini ada empat model bisnis yang ditawarkan oleh di industry ini.

Pertama, Subscribed Video on Demand (SVOD) yang menawarkan layanan video streaming dengan model bisnis berlangganan. Dengan berlangganan, konsumen dapat mengakses berbagai video yang tersedia di platform tersebut. Beberapa platform OTT yang cukup besar di model ini adalah Netflix, Disney+ Hotstar, Viu, WeTV, dan lainnya.

Kedua, Transaction Video on Demand (TVOD) yang menerapkan model bisnsi berkebalikan dari SVOD. Platform seperti Google Play, AppleTV, atau Bioskop Online yang ada di segmen ini membawa model bisnis dengan menghadirkan konten berbayar. Jadi, konsumen cukup membayar untuk konten yang ingin mereka konsumsi saja. Platform-platform ini kerap mendapat pendapatan dari penjualan dan penyewaan konten.

Ketiga, Ad-based Video on Demand (AVOD). Salah satu platform besar di segmen ini adalah YouTube. Di model ini, brand melakukan monetisasi kontennya dengan menghadirkan iklan, mulai dari iklan video commercial, display banner, atau sponsored content.

Keempat adalah Broadcast Video on Demand (BVOD) yang biasanya diisi oleh para pemilik saluran televisi namun juga masuk di kanal streaming. Beberapa nama bisa kita temukan di Indonesia, seperti Vidio atau RCTI+.

“Kami memilih model bisnis TVOD karena sadar akan sulit bersaing dengan platform sebesar Netflix yang bermain dengan model SVOD. Untuk memenangkan pasar ini, kami ingin membangun positioning yang kuat dan bermain di blue ocean area,” lanjut Ajeng.

Soal positioning, Bioskop Online membangun posisi di mind share konsumen melalui konten-konten yang mereka sajikan. Di sini, Bioskop Online kerap menghadirkan konten yang memiliki karakter kuat, beda, dan berani. Harapannya, buat konsumen yang ingin mencari konten dengan karakter tersebut mereka akan mencari Bioskop Online.

“Konsumen hari ini cenderung loyal terhadap kontennya. Dengan membangun konten yang kuat, kami berharap audiens akan terus Kembali ke platform kami. Dengan positioning yang kami bangun ini pun, kini kami memiliki basis audiens dengan karakter yang sama, yakni di segmen Gen Z dan milenial sebagai konsumen terbsar. Meski begitu, kami ingin juga menyasar semua segmen penikmat konten video streaming, segmen keluarga salah satunya,” tutup Ajeng.

Related

award
SPSAwArDS