Pada 25 April 2023, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mengeluarkan siaran pers terkait Perkembangan Gelombang Panas Asia 2023.
Pada laporan tersebut, BMKG menyebutkan bahwa gelombang panas Asia masih berlangsung, namun hal ini tidak terjadi di Indonesia. Sebab itu, BMKG mengimbau masyarakat untuk tidak panik dan tetap waspada.
Kepala BMKG, Dwikorita Karnawati menegaskan bahwa fenomena suhu panas yang ramai diperbincangkan saat ini bukanlah dampak dari adanya gelombang panas.
“Fenomena udara panas yang terjadi di Indonesia belakangan, jika ditinjau secara lebih mendalam dengan dua penjelasan di atas secara karakteristik fenomena maupun secara indikator statistik pengamatan suhu, tidak termasuk ke dalam kategori gelombang panas, karena tidak memenuhi kondisi-kondisi tersebut,” ungkap Dwikorita.
BACA JUGA: Awas Cuaca Panas Ekstrem! Ini 5 Rekomendasi Sunblock Pelindung Kulit
Berdasarkan karakteristik fenomena, suhu panas yang terjadi di Indonesia adalah akibat dari gerakan semu matahari yang merupakan siklus biasa dan memang terjadi di setiap tahun. Dari sini, fenomena dan potensi kenaikan suhu panas dapat terjadi secara berulang pada periode yang sama setiap tahun, tak terkecuali tahun 2023.
Sementara itu, berdasarkan indikator statistik suhu kejadian, riwayat lonjakan suhu panas yang terjadi pada 17 April 2023 di Ciputat hanya terjadi satu hari saja, yaitu mencapai 37,2°C.
Suhu tertinggi yang terjadi di Indonesia tersebut sudah turun dan rata-rata suhu maksimum yang tercatat oleh BMKG berkisar di angka 34°C – 36°C di beberapa titik lokasi.
Dwikorita kembali menyebutkan bahwa kondisi ini masih dalam kisaran normal dan berdasarkan klimatologis memang akan terjadi di Jakarta pada bulan April hingga Juni mendatang.
“Variasi suhu maksimum 34°C – 36°C untuk wilayah Indonesia masih dalam kisaran normal klimatologi dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Secara klimatologis -untuk wilayah Jakarta-, April-Mei-Juni adalah bulan-bulan ketika suhu maksimum mencapai puncaknya, selain Oktober-November,” lanjut Dwikorita dalam catatan siaran pers BMKG.
BACA JUGA: Cuaca Panas! Ini 3 Jenis Sunscreen untuk Lindungi Kulit dari Sinar UV
Selain itu, kondisi suhu udara panas yang terjadi juga seringkali dikaitkan dengan radiasi ultraviolet dari sinar matahari.
Faktanya, besar kecil radiasi UV yang sampai di permukaan bumi memiliki indikator nilai indeks UV dimana tinggi rendahnya indeks UV tidak berpengaruh pada kondisi suhu udara yang terjadi.
Wilayah Indonesia yang masuk dalam wilayah tropis memiliki pola harian yang dapat diamati secara berkala, meski tidak terjadi gelombang panas.
Faktor cuaca, tutupan awan, dan kelembapan udara yang dapat berkontribusi pada perubahan nilai indeks UV. Sebagai contoh, lokasi cerah berawan pada pagi dan siang hari cenderung memiliki indeks UV yang tinggi pada kategori “Very high“, bahkan “Extreme“.
Dwikorita menjelaskan indeks nilai UV lebih detail pada pembagian beberapa kategori, yaitu low, moderate, high, very high, hingga extreme.
“Secara umum, pola harian indeks ultraviolet berada pada kategori ‘Low’ pada pagi hari, mencapai puncaknya di kategori ‘High’, ‘Very high’, sampai dengan ‘Extreme’ ketika intensitas radiasi matahari paling tinggi saat siang hari antara pukul 12:00 s.d. 15:00 waktu setempat; dan bergerak turun kembali ke kategori ‘Low’ pada sore hari,” ucap Dwikorita.
Pada dasarnya, pola tersebut akan bergantung terhadap lokasi geografis, sudut elevasi, posisi matahari, jenis permukaan, dan juga tutupan awan.
BACA JUGA: Cuaca Ekstrem, Kenali Sinar UV: Jenis, Manfaat, dan Bahayanya
BMKG pun mengimbau masyarakat untuk tidak panik dalam menyikapi berbagai pemberitaan mengenai UV harian yang beredar belakangan ini. Sebaiknya, masyarakat berfokus pada pencegahan dampak negatif dari sinar UV itu sendiri. Pencegahan yang bisa dilakukan adalah dengan menggunakan tabir surya ketika sedang beraktivitas di luar ruangan.
Editor: Muhammad Perkasa Al Hafiz