Bocoran Transformasi UNIQLO menjadi Digital Consumer Retail Company

marketeers article
Gerai UNIQLO (Foto: Fast Retailing)

Customer experience menjadi elemen yang wajib diperhatikan oleh para merek dari industri mana pun. Tidak terkecuali bagi UNIQLO yang bermain di industri fesyen yang mengandalkan produk LifeWear sebagai unique selling point (USP).

Bagi merek yang bernaung di dalam kelompok bisnis Fast Retailing asal Jepang ini, membangun customer experience menjadi bagian transformasi perusahaan sebagai Digital Consumer Retail Company. Berikut bocoran transformasi UNIQLO yang dipaparkan oleh Takahiro Tambara, Group Executive Officer Fast Retailing Co., Ltd.

Foto: Takahiro Tambara, Group Executive Officer Fast Retailing Co., Ltd.

Fast Retailing adalah perusahaan pakaian mode terbesar ketiga di dunia dengan merek utamanya adalah UNIQLO. Merek-merek lain di bawah naungan Fast Retailing, di antaranya Theory, merek kelas atas yang berbasis di New York. Lalu GU yang bermain di segmen produk fesyen yang lebih affordable yang juga berkembang secara internasional.

“Secara total, kami mengoperasikan 3.600 toko di Asia Pasifik, Amerika Utara, dan Eropa,” jelas Takahiro Tambara, Group Executive Officer Fast Retailing Co., Ltd. kepada Marketeers dalam sebuah wawancara tertulis.

Takahiro menyebut, LifeWear yang dibawa UNIQLO adalah diferensiasi yang membedakan brand ini dari yang lain. LifeWear adalah pakaian yang berasal dari nilai-nilai Jepang. Ini adalah pakaian yang sederhana, berkualitas tinggi, dan dibuat untuk bertahan lama.

“Kini, kami bertransformasi menjadi Digital Consumer Retail Company. Transformasi ini dilakukan dengan menciptakan pengalaman yang lebih mudah, lebih nyaman, lebih efisien, dan lebih positif bagi pelanggan kami,” ujarnya.

Dalam bertransformasi, perusahaan sangat mengandalkan kekuatan dari data dan informasi. Data dan informasi dinilai sangat penting bagi perkembangan bisnis hari ini dan di kemudian hari.

“Kami sangat paham, penggunaan informasi di setiap proses bisnis akan meningkatkan value untuk konsumen. Itu sebabnya, kami mengembangkan model bisnis baru yang memanfaatkan kekuatan informasi,” papar Takahiro.

Di sini, UNIQLO gemar mengumpulkan “suara” dari konsumen dan para pekerja secara global, termasuk soal tren pakaian. Setiap tahun, UNIQLO menerima lebih dari 30 juta permintaan dan feedback dari pelanggan. Jumlah tersebut telah meningkat 200 kali lipat dalam 10 tahun terakhir. Berangkat dari semua informasi ini, UNIQLO membuat perencanaan produk, pemesanan, hingga mengelola rantai pasok.

“Dengan memanfaatkan informasi sepenuhnya dan menggunakan kekuatan teknologi digital untuk menggerakkan rantai pasokan, kami menciptakan lingkungan ritel yang ideal,” lanjut Takahiro.

Wawasan ini sangat berharga untuk mendorong perbaikan produk dan layanan. Sayangnya, UNIQLO belum mampu menangkap semua ‘suara’ pelanggan dan data-point yang tersedia, termasuk untuk memanfaatkan seluruhnya. Tetapi dengan bantuan artificial intelligence (AI), hal ini bisa menjadi mungkin.

Takahiro menyebut, UNIQLO dikenal karena memproduksi desain yang berkualitas tinggi, sederhana namun indah. Banyak orang akan berasumsi bahwa desain beberapa produk klasik UNIQLO tidak pernah berubah. Namun, dengan mengambil insight dari pelanggan, perusahaan terus bekerja mengejar kesempurnaan kesederhanaan dalam produk LifeWear.

“Faktanya, insight dan data sangat penting di dalam visi perusahaan. Informasi yang tepat akan membantu kami dalah menentukan kuantitas produk dan layanan yang tepat, di lokasi yang tepat, dan memberikan apa yang konsumen inginkan,” jelas Takahiro.

Fast Retailing membawa bisnis model berbentuk sirkular dengan konsumen berada di tengah. Di sekelilingnya, UNIQLO membawa kunci-kunci bisnis mereka yang yang terkoneksi. Bisnis model ini yang dibangun pada transformasi UNIQLO dalam memperkuat positioning-nya sebagai Digital Consumer Retail Company.

Creative Thinking ala UNIQLO

Lebih dari sekadar penggunaan teknologi, transformasi yang dilakukan UNIQLO terfokus kepada pembangunan koneksi. Di sini, perusahaan menghubungkan alat, eksekusi, dan segala sumber daya untuk konsumen.

Ada lima koneksi yang dibangun oleh UNIQLO, meliputi:

  • Menghubungkan toko dengan kanal online
  • Menghubungkan ekosistem ritel dengan rantai pasokan
  • Menghubungkan pelanggan dengan, dan melalui, teknologi
  • Menghubungkan strategi global dengan lokal
  • Menghubungkan dan fokus ke satu solusi dengan solusi berikutnya.

“Upaya ini perlu kami lakukan untuk memperkuat misi perusahaan dalam menjadi Digital Consumer Retailer. Tentu di dalam proses ini kami akan memaksimalkan peran teknologi namun teknologi bukan menjadi Solusi yang berdiri sendiri. Fokus kami adalah pelanggan dan memanfaatkan teknologi untuk keuntungan mereka. Pelanggan adalah kiblat kami dalam mentransformasikan model bisnis kami. Segala yang kami lakukan adalah menciptakan pengalaman yang lebih mudah, nyaman, efisien, dan positif bagi pelanggan kami,” jelas Takahiro.

Beberapa teknologi telah dikembangkan oleh UNIQLO. Salah satu contohnya adalah RFID. Teknologi RFID mampu mengenali item secara spesifik. Teknologi chip ini mengubah informasi di dalam pakaian menjadi format digital. Informasi dari chip selanjutnya masuk ke dalam system manajemen perusahaan. Dua fungsi utamanya adalah manajemen inventaris dan sistem kasir mandiri.

“Sistem kasir mandiri kami ini baru dan unik. Pertama, sistem ini mengurangi waktu checkout hingga lebih cepat 2x lipat dibanding penggunaan kasir dengan orang. Sistem ini juga kami rancang sederhana dan memudahkan konsumen,” tambahnya.

Takahiro juga menegaskan, sistem ini bukan untuk mengurangi tenaga kerja, tetapi 100% untuk meningkatkan pengalaman pelanggan. Teknologi kasir mandiri ini telah diperkenalkan di sebagian besar lokasi UNIQLO, kecuali di India atau Filipina.

Related

award
SPSAwArDS