Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) mempunyai komitmen untuk melindungi konsumen terkait dengan perannya dalam pengawasan keamanan pangan di Indonesia. Hanya saja, lantaran pelaku usaha yang semakin banyak, BPOM pun mempunyai keterbatasan dalam melakukan perlindungan konsumen secara menyeluruh. Sebab itu, BPOM mengajak pelaku usaha memproteksi konsumennya sendiri.
“BPOM berfungsi menyusun kebijakan nasional terkait pengawasan obat dan makanan, memantau, dan memverifikasi apakah pelaku usaha ini sudah menjalankan aturan atau tidak. Ke depan, kami ingin pelaku usaha mengaktifkan konsumen untuk melindungi dirinya sendiri. Era Internet saat ini bukan eranya lagi untuk menyidak satu per satu pelaku usaha,” papar Ketua BPOM Roy A. Sparringa, di acara Indonesia WOW Brand 2015 – Customer Healthcare Products di Ritz Carlton Mega Kuningan, Rabu (25/3/2015).
Menurutnya, customer protection atau perlindungan konsumen bakal berjalan ideal apabila merangkul tiga komponen utama, yaitu pelaku usaha, konsumen, dan pemerintah. Hanya saja, sebagian besar masih mengganggap bahwa urusan semacam itu masih mutlak tanggung jawab pemerintah.
Di kesempatan yang sama, pakar pemasaran Hermawan Kartajaya, menganggap konsumen saat ini semakin proaktif. Keadaan itu menjadikan partisipasi konsumen dalam marketing dan upayanya memproteksi diri sendiri semakin penting. Apalagi, katanya, marketing telah bergerak dari 1.0 menuju 2.0 dan kini 3.0 yang membuat tujuan pemasaran berubah dari sebatas menjual produk (1.0), menuju menciptakan kepuasan dan kesetiaan konsumen (2.0), hingga berakhir pada sentuhan pada human spirit (3.0).
“Pada marketing 1.0, marketnya yaitu para konsumen dengan kebetuhan yang terlihat secara kasat mata. Sedangkan pada marketing 2.0, marketnya mengarah pada konsumen cerdas yang memiliki pikiran dan perasaan. Dan, pada marketing 3.0, market menjurus pada peer atau kumpulan konsumen yang memiliki tedensi untuk berkolaborasi dan memberikan rekomendasi,” kata Hermawan.
Perubahan sudut pandang pemasaran itu turut mengubah lanskap perlindungan konsumen. Jika di era industrialisasi (marketing 1.0) pelaku usaha lebih menekankan pada informasi produk, di masa informasi (2.0), pelaku usaha dituntut memberikan edukasi tentang kegunaan produk dan pengalaman menggunakan produk itu.
“Sedangkan di era yang serba terkoneksi seperti saat ini (marketing 3.0), pelaku usaha dituntut untuk merangkul partisipasi konsumen. Sebab itu, media yang digunakan tidak lagi satu untuk semua (one to many) atau satu per satu (one to one), tapi sudah dari semua ke semua (many to many),” papar Hermawan.
Hermawan juga menjelaskan, sesuai riset MarkPlus Insight pada tahun lalu, perlindungan konsumen penting untuk dikomunikasikan di berbagai bentuk media, seperti pada kemasan (20,5%), iklan (20,1%), kanal penjualan (19,8%), program konsumen (20,3%), serta call center (19,3%).
“Dari sepuluh merek obat Over The Counter (OTC) jenis kuratif yang kami survei, rata-rata indeks perlindungan konsumennya kecil, yaitu 35,8% dari skala 100%. Itu artinya, peluang untuk mengaktifkan konsumen untuk memproteksi diri sebagai bagian dari perlindungan konsumen masih terbuka lebar,” katanya.
Keyakinan Hermawan semakin dibuktikan dari hasil survei MarkPlus Insight yang menyatakan bahwa pelaku usaha kesehatan hanya menjadikan perlindungan konsumen sebagai tuntutan aturan. Pasalnya, dari setiap kemasan suatu produk kesehatan -baik obat maupun suplemen, 87,4% masih bermuatan informasi produk, 59,7% bermuatan edukasi konsumen, dan hanya 14,8% yang berisi soal perlindungan konsumen.
Hasil yang hampir sama juga terlihat pada kanal media lain yang digunakan pelaku usaha kesehatan, seperti iklan-iklan media massa, kanal penjualan ritel, hingga pada program pelanggan. “Uniknya, kanal call center masih belum digarap oleh pelaku usaha kesehatan dalam mengomunikasikan perlindungan konsumen. Ini harus dibangun sesegera mungkin karena call center adalah jalan untuk berkomunikasi secara langsung kepada konsumen,” terangnya.