Perusahaan konsumer PT Procter & Gamble Indonesia (P&G) meluncurkan kampanye selama bulan Ramadan bertajuk Maaf Ibu. Nampaknya, perusahaan global asal Amerika Serikat tersebut mulai menunjukkan identitas lokalnya kepada konsumen Indonesia.
Banyak seasonal marketing yang bisa dilakukan perusahaan atau brand dalam menyambut ibadah puasa Ramadan. Yang paling mudah adalah brand membawa tema religi dalam kampanye pemasarannya. Akan tetapi, kali ini P&G melakukan pendekatan yang berbeda.
Kampanye yang digaungkan dengan tagar #MaafIbu ini mengangkat tema ibu, meski bulan Ramadan kali ini tidak bersinggungan dengan Hari Ibu, Hari Kartini atau Hari Perempuan Sedunia. Pemilihan tema itu diakui pihak P&G terjadi secara spontan.
“Inspirasi #MaafIbu berasal dari pengalaman pribadi saya,” kata Elvin Rahardja, Marketing Manager P&G Indonesia Home Product Division di acara Brand for Good yang dihelat MarkPlus Inc. di Philip Kotler Theater, Kota Kasablanka, Jakarta.
Elvin bercerita, saat dirinya kembali ke Indonesia untuk bekerja di ibu kota setelah selama 2,5 tahun bekerja di Bangkok, ibunya kerap menelepon Elvin dan sering menanyakan beberapa pertanyaan seperti; ‘Makan di rumah atau tidak malam ini?’, ‘Kapan pulang ke rumah?’, dan lainnya.
Kesibukan malah membuat Elvin sering menjawab pertanyaan sang ibunda dengan nada ketus. “Saya sadar yang ibunda saya lakukan itu baik, yaitu memberikan perhatian. Namun, saya saja yang orangnya tidak sabaran sehingga menjawabnya dengan nada ketus,” cerita dia.
Dari pengalaman pribadi itu, Elvin menyadari bahwa seseorang yang sering disakiti ternyata adalah orang-orang terdekat. Orang tua, khususnya ibu, menjadi pihak yang cukup sering disakiti oleh anaknya, meski itu disebabkan oleh hal-hal kecil.
“Ada beberapa hal kecil yang kadang kita lupa dan khilaf, yang membuat ibu kita sedih dan khawatir,” ungkap dia.
Karenanya, P&G melalui kampanye #MaafIbu mengajak konsumen Indonesia agar sedari sekarang bertutur kata kepada ibu dengan lebih sopan dan sabar, serta segeralah meminta maaf jika membuat kesalahan dan kealpaan.
Meski terkesan sederhana, namun diyakini seruan tersebut memberikan dampak yang besar bagi ibu.
Sebelum melakukan kampanye itu, Elvin mengaku pihaknya melakukan survei pelanggan terlebih dahulu. Ia mendapati bahwa sebagian besar masyarakat Indonesia percaya bahwa surga itu terletak di bawah telapak kaki ibu.
Selain itu, produsen Pantene dan Downey ini juga sempat melakukan survei kepada para pekerja kantoran di Jakarta, di mana didapat insight bahwa mayoritas dari mereka mudah mengatakan maaf kepada orang lain jika melakukan kesalahan. Akan tetapi, mereka cukup sulit jika harus meminta maaf kepada orang tua mereka sendiri.
“Deep down in our heart sebenarnya kita sayang (ibu kita), tapi kita suka lupa menunjukkan rasa sayang tersebut,” tambah Elvin.
Singkat cerita, kampanye ini digulirkan P&G melalui platform berbagi video Youtube dan media sosial. P&G pun memilih lagu Kasih Ibu sebagai theme song kampanye ini dan menggandeng penyanyi Andien serta duta mereknya Anggun C. Sasmi untuk melantunkan lagu tersebut.
Lagu ‘Kasih Ibu’ yang di-arrangement ulang itu dipilih karena lagu ini dianggap mampu menjangkau seluruh konsumen tanah air, melewati batas usia, gender, dan status ekonomi.
Tak berhenti sampai di situ, Elvin melanjutkan, dalam menggarap kampanye ini, P&G turut melibatkan kolaborasi konsumen.
Ia menerangkan, lirik lagu yang dinyanyikan oleh Andien dan Anggun itu diambil dari kata-kata yang diutarakan netizen. Ceritanya, P&G sempat bertanya pada para netizen di media sosial perihal ‘Apa yang ingin Anda katakan kepada ibu?’
“Hasilnya cukup beragam, dan kami kumpulkan kata-kata tersebut menjadi sebuah lirik yang menyentuh,” ucap Elvin.
Apa yang dilakukan P&G melalui kampanye sederhana #MaafIbu merupakan salah satu cara yang bisa dilakukan brand untuk menunjukkan diri sebagai merek yang peduli terhadap isu-isu yang terjadi di benak konsumen. Sensitivitas ini membuat brand dianggap lebih humanis, yang berarti dapat meningkatkan ikatan emosional antara brand dengan konsumennya.
Aktivitas seperti itu juga dapat mengubah persepsi yang keliru soal marketing, yang mana marketing kerap diartikan sebatas menjual barang demi meraih untung sebesar-besarnya. Banyak pihak memberikan label negatif terkait marketing bahwa praktik pemasaran hanyalah sekadar manipulasi agar barang yang sebenarnya tidak dibutuhkan konsumen dapat terjual.
Judup buku Martin Lindstrom yang terkenal “Brandwashed: Tricks Companies Use to Manipulate Our Minds and Persuade Us to Buy” adalah salah satu contoh pandangan sinis pada dunia pemasaran. Marketing dianggap hanya membuat klaim palsu dan mengeksploitasi naluri manusia untuk mendorong konsumsi demi pertumbuhan bisnis suatu perusahaan.
Tapi paradigma itu tidak mesti diatribusikan pada semua perusahaan. Sebab, perusahaan maupun brand dapat memberikan dampak positif kepada konsumennya lewat berbagai cara; mengimplementasikan praktik social enterprise, melakukan sustainability program, hingga membuat kampanye yang menyadarkan orang bahwa berbuat baik itu adalah hal termudah yang bisa dilakukan manusia.
Apakah Anda setuju?