Harus diakui, kondisi perekonomian dalam negeri Indonesia tidak bisa terlepas dari pengaruh dunia luar, khususnya Amerika Serikat. Dan, Presiden AS ke-45 Donald Trump bisa dikatakan menjadi salah satu sosok penentu saat ini. Maklum, Trump banyak mengeluarkan kebijakan-kebijakan kontroversial yang bertujuan melindungi perekonomian AS, seperti melarang perdagangan dengan beberapa negara muslim, mengurangi pajak penghasilan, dan lainnya.
Hal itu membuat nilai tukar rupiah terhadap dolar AS tertekan di sepanjang 2018 ini. “Banyak investor yang melakukan penjualan aset saham di emerging market. Akibatnya dolar AS terus menguat,” kata Bonny Iriawan, Executive Vice President – Intermediary Business PT Schroder Investment Management Indonesia (Schroders).
Namun, kebijakan Trump menurunkan pajak membuat defisit AS semakin lebar. Sebab, pendapatan AS dari pajak berkurang. Di sisi lain, hal itu positif bagi pasar saham AS karena laba setelah pajak naik karena perusahaan menikmati penurunan pajak. Ketika pendapatan per saham naik, maka harga saham emiten di AS juga naik.
“Tapi karena pajak turun, AS butuh dana untuk financing sehingga AS harus menerbitkan obligasi lebih banyak. Uniknya, pembeli obligasi AS paling besar adalah Bank Sentral China,” kata Bonny.
Isu hangat yang sedang dihadapi perekonomian dunia saat ini tak lain adalah perang dagang antara dua raksasa dunia, AS dan China. Trump mungkin lupa bahwa investor yang banyak berinvestasi di AS sebenarnya China. Itulah mengapa banyak barang China di AS yang hadir dengan harga murah.
“Ketika Donald Trump menaikkan tarif impor, maka barang di sana juga menjadi mahal. Tarif naik, inflasi naik, maka The Fed akan menaikkan suku bunga. Gubernur Bank Sentral AS saat ini sangat mengacu pada data. Ketika bank sentral AS menaikkan suku bunga, maka mata uang mereka juga akan semakin kuat,” kata Bonny.
Meski enggan meramal berapa nilai tukar terburuk dari rupiah, Bonny yakin secara jangka panjang, dolar AS tidak akan menguat terus menerus. Sebab, hal itu akan berdampak pada pelemahan ekspor dan kenaikan suku bunga mereka.
Lantas bagaimana dengan Indonesia? Saat ini tantangan yang tengah dihadapi Indonesia adalah current account deficit atau CAD. Mudahnya, suplai dolar AS di pasaran lebih sedikit ketimbang permintaan yang ada. “Current account sedang menjadi perhatian pemerintah. Memang susah untuk positif, tapi diharapkan defisit bisa turun,” kata Bonny.
Seiring kenaikan bunga AS, Bank Indonesia pun menaikkan suku bunga acuan sebanyak 25 basis poin pada hari ini (27/9) menjadi 5,75%. Bonny melihat kenaikan suku bunga acuan oleh BI tidak akan bisa memperkuat nilai tukar rupiah. Pasalnya, penyebab utama melemahnya rupiah tidak lain current account yang defisit. “Jika BI terus mengintervensi, maka akan berdampak pada cadangan devisa. BI mau menaikkan suku bunga setinggi apapun, tidak akan bisa jika fiskal tidak membaik,” katanya.
Sebenarnya pemerintah telah melakukan berbagai cara untuk menekan CAD. Mulai dari menaikkan tarif impor, menahan masuknya barang impor, hingga menumbuhkan ekspor. Berbagai kebijakan telah dikeluarkan pemerintah untuk mengantisipasi agar defisit neraca perdagangan tidak semakin melebar. Namun, kebijakan fiskal membutuhkan waktu agar dampaknya bisa terasa.
“Investor menunggu keberanian pemerintah melakukan adjustment pada harga BBM bersubsidi. Tapi sepertinya hal itu tidak akan terjadi karena sudah mendekati pemilu,” katanya.
Melihat kondisi yang tak pasti, Schroders pun menyarankan investor untuk berinvestasi pada reksa dana campuran. Pasalnya, produk ini memiliki portofolio yang beragam, mulai dari saham, obligasi, dan mata uang asing. Yang jelas, Schroders melihat bursa saham Indonesia saat ini masih menarik karena memiliki harga yang murah. “Saat ini, waktunya bagi investor untuk berinvestasi secara jangka panjang. Jika ditanya bursa saham saat ini memasuki periode bullish atau bearish? Saya menyebut kangaroo market. Dia akan loncat, naik turun. Investasi secara bertahap menjadi jawabannya,” kata Bonny.