Waktu terus berputar, zaman berganti dan dunia pun mulai diambil alih dari generasi ke generasi. Tidak lagi generasi Y atau yang akrab disebut millennials, kini generasi Z dan Alfa mulai bertumbuh mengambil peran. Memiliki karakter yang berbeda-beda, para marketer pun dituntut mampu memahami masing-masing generasi guna merumuskan pendekatan yang tepat untuk menyasar pasar mereka.
Gen Z
Generasi Z yang berada di rentang usia 1996-2010 menjadi generasi pertama yang berada di bawah generasi millennials (Y). Telah mengenal internet sejak kecil membuat generasi ini memiliki karakter yang berbeda dengan millennials yang tumbuh pada masa transisi perkembangan teknologi digital.
Photo Credits: The School of Life
Penelitian yang dilakukan McCrindle menemukan, ada sekitar dua miliar penduduk dunia yang tergolong ke dalam generasi Z. Mengenal internet sejak kecil membuat generasi ini cenderung FOMO (Fear of Missing Out) alias cemas akan ketertinggalan dari yang lain. Sejumlah istilah baru yang menggambarkan generasi ini pun bermunculan, seperti YOLO (You Only Live Once), Cray cray, dan Defs.
Dari segi brand management, Head of Hotel Business Program Podomoro University Dea Prasetyawati mengatakan generasi ini cenderung lebih mudah mengikuti influencer mereka dalam memilih brand.
“Generasi Z cenderung mengikuti apa yang dipilih influencer mereka. Pemasaran advetorial justru kurang berhasil dalam menggarap pasar generasi Z,” ungkap Dea di Jakarta, Rabu (17/01/2018).
Lebih dari itu, dalam forum diskusi MarkPlus Center for Tourism and Hospitality, Dea memaparkan penelitian menemukan sebesar 60% generasi Z cenderung ingin memberi dampak positif bagi dunia dibandingkan generasi millennials (39%).
Photo Credits: images.summitmedia-digital.com
“Ada kecenderungan bagi mereka untuk give back to the others. Ketika mereka berbelanja, mereka cenderung memilih brand yang memberi kontribusi lebih bagi sekitar. Selain itu, mereka juga memiliki kecenderungan untuk saving dan spending secepat mungkin atau saving perlahan, namu spending secepat mungkin,” terang Dea.
Diberi kemudahan dalam mengakses berbagai hal sejak kecil membuat generasi Z bisa melakukan berbagai hal sekaligus (multitasking). “Gen Z paling tidak mengoperasikan lima screens sekaligus di smartphone atau laptop mereka dalam sehari,” kata Dea. McCrindle memprediksi, Gen Z dapat mengerjakan 17 pekerjaan dan menjalankan sekitar lima karir dalam hidup mereka.
Untuk itu, para pemasar dikatakan Dea harus masuk ke dalam dunia mereka yang cenderung touchscreen (menghabiskan lebih banyak waktu melalui mobile atau internet) untuk dapat menggarap pasar generasi Z.
Gen Alfa
Generasi yang lahir di antara tahun 2011 hingga 2025 ini memiliki karakter yang berbeda dari generasi terdahulu, Z. Usia generasi Alfa memang terbilang belum sepotensial generasi Z dalam hal konsumsi dan belanja untuk saat ini. Namun, para pemasar harus segera bersiap karena generasi Alfa akan mengambil alih dunia kelak.
Photo Credits: media.stylus.com
Jika generasi Z terbilang FOMO, generasi Alfa lebih dari itu. Dea mengungkapkan generasi Alfa yang telah mengenal dunia digital sejak lahir bukan lagi generasi yang touchscreen, melainkan tastescreen. Untuk menyusun strategi yang tepat dalam berkomunikasi dengan generasi ini, pemasar dikatakan Dea harus menggunakan 12 senses (touch, life, movement, equilibrium, smell, taste, vision, warmth, hearing, speech, thinking, ego).
Lebih dari itu, para pemasar pun dituntut mampu melakukan hal yang serupa dengan karakteristik generasi ini. “Sebagai pemasar, kita wajib do the same thing dengan mereka. Jika mereka lebih dari FOMO, kita minimal harus melakukan tiga update-an perhari di media sosial terkait brand yang kita pasarkan,” jelas Dea.
Berbeda dengan generasi Z yang cenderung melihat orang-orang berpengaruh sebagai trendsetter atau influencer mereka, generasi Alfa justru cenderung berkiblat pada orang terdekat mereka.
“Generasi Alfa cenderung melihat influencer yang klop dengan kepribadian mereka yang datang dari orang-orang terdekat, semisal kakak kelas mereka. Untuk engage dengan generasi ini, brand harus mampu engage dengan lingkungan generasi Alfa karena internal market is the best influencer for them,” ungkap Dea.
Editor: Eko Adiwaluyo